Perlu Refleksi Atas Krisis Moral Ekonomi-Politik Bangsa

Semarang, Idola 92.6 FM – Indonesia adalah menjadi sebuah gambaran cermin yang pecah. Ada retakan yang lebar antara kemajuan pembangunan dan realitas krisis kehidupan.

Di sejumlah kesempatan, pembesar negara memuji dan memuja pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai salah satu yang tertinggi di dunia. Dalam kenyataan, bangsa ini mengalami krisis fiskal yang parah.

Salah satunya ditandai dengan defisit keseimbangan primer APBN yang memburuk sejak tahun 2012. Di sisi lain, Masyarakat merayakan kehebatan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.

Meskipun demikian, menurut Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan Yudi Latif, perkembangan demokrasi tersebut pada kenyataannya ditandai krisis wibawa pemerintahan yang mengenaskan.

Otoritas Negara tunduk di bawah kendali modal, bahkan tak segan bersimpuh di bawah kaki para pengemplang pajak. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kehidupan ekonomi-politik sebagai bagian integral dari sistem sosial tak bisa mengelak dari imperatif moral.

Jika imperatif moral itu tidak dipenuhi, perkembangan yang terjadi bersifat destruktif bagi kelangsungan perekonomian dan demokrasi itu sendiri.

Lantas, bagaimana mencari jalan keluar krisis ekonomi-politik sebagai krisis moral yang membelit bangsa ini?

Daulat Justru Untuk Pemodal

Yudi Latif
Yudi Latif

Dalam Panggung Civil Society Radio Idol, Rabu (7/9) pagi, Yudi Latif menegaskan, negara kita juga kerap kali mengklaim sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun sebenarnya secara substansi kita tak mengindahkan hal itu. Sebab, daulat rakyat tidak dihormati. Karena justru yang dijunjung tinggi adalah daulat pada pemodal.

“Bahkan termasuk urusan perizinan. Jadi kebijakan negara termasuk undang-undang dan lain-lain berdaulat untuk pemodal,” tuturnya.

Yudi menilai, perubahan dari orde baru ke orde reformasi hanya mengalami perubahan situasi otoriter menjadi tanpa otoritas, padahal demokrasi perlu penegakan hukum.

“Kalau demokrasi tidak berlandaskan hukum, tidak ada otoritas yang ada akan kuat-kuatan modal dan akhirnya seperti menjadi hukum rimba.

Menurut Yudi, banyak hal yang perlu direfleksikan bangsa ini. Apalagi baru saja Indonesia merayakan 71 tahun kemerdekaan Republik Indonesia.

“Para pendiri bangsa dari dulu kan ingin merayakan kemerdekaan tanpa kaum kapitalis turut merayakan. Nyatanya setelah 17 tahun reformasi bangsa ini justru ini memiliki defisit kesenjangan sosial,” katanya.

Dia menambahkan bahwa sebenarnya potensi negara Indonesia luar biasa. Selain itu ditunjang kuatnya persatuan segenap elemen rakyatnya. Tak ada pembelahan sosial yang tajam. Namun, kuatnya persatuan itu bisa robek jika keadilan sosial makin lebar.

“Tantangan terbesar ini adalah bagaimana negara harus menjalankan mandat konstitusi untuk mengembangkan negara kesejahteraan. Bumi dan air semua untuk kesejahteraan rakyat bukan hanya untuk segelintir pemodal apalagi dari asing. Perbankan itu juga jangan hanya melayani pemodal besar,” serunya.

Kembali Ke Arti Pembangunan Yang Hakiki

Irman Gusman.
Irman Gusman.

Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman, menyatakan, politisi sebenarnya profesi mulia karena melalui kebijakan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan ekonomi juga sebagai salah satu cara meningkatkan kebahagiaan masyarakat lahir dan batin. Namun, dalam konteks negara Indonesia yang baru belajar membangun secara modern. Terkadang oknum-oknum birokrat menyalahgunakan fungsi tersebut.

Menurutnya pendekatan yang kerapkali dipakai pemimpin kita baru bersifat prosedural. Sehingga, bernegara itu baru prosedural, dan demokrasi juga masih prosedural.

“Kita semestinya kembali ke arti pembangunan yang hakiki, apa arti pendidikan yang hakiki untuk membangun karakter dan tingkat mental,” ujarnya.

Irman mengungkapkan, revolusi mental menjadi salah satu upaya tepat untuk memperbaiki problem bangsa. Akan tetapi pertanyaannya, bagaimana menerjemahkan hal itu dalam segala kehidupan. Karena kita masih lemah dalam mengimplementasikan revolusi mental.

“Bagaimana merubah mental para birokrat, supaya mengelola keuangan negara dengan tanggung jawab. Tanggung jawab itu bukan berarti harus diawasi. Jadi birokrat secara sadar hati ada rasa apakah sudah benar menggunakan keuangan Negara. Nah itu yang harus kita terjemahkan dalam kehidupan kita. Kita perlu membangun keteladanan dalam semua sektor karena itulah cara yang paling tepat,” tukas Irman.

17 tahun telah berlalu pasca-reformasi, bangsa ini memang mengalami surplus kebebasan. Namun, di sisi lain kita pun mengalami defisit keadilan dan kesenjangan yang makin lebar.

Konsolidasi demokrasi yang terbentuk pun masih bersifat prosedural. Belum terwujud demokrasi yang esensial dimana daulat demokrasi benar-benar menjunjung tinggi kesejahteraan rakyat.

Untuk memperbaiki kondisi ini, ke depan negara mesti menegakkan konstitusi, sehingga tidak berada di bawah kendali pemodal. Selain itu, kepentingan publik harus dikedepankan sesuai moral Pancasila. (Heri CS)