Bagaimana Menghidupkan Dialog untuk Mencari Jalan Keluar Ketegangan Politik

Massa memadati kawasan bundaran air mancur saat aksi 4 November di Jakarta, Jumat (4/11). (photo: republika)

Semarang, Idola 92.6 FM – Publik seolah mesti bersabar untuk menikmati suasana kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejuk selama beberapa hari ke depa. Setelah unjuk rasa 4 November lalu gelombang aksi massa lanjutan edisi kedua juga tengah disiapkan oleh penggerak sebelumnya, bertajuk aksi 25 November. Hal itu sebagai bentuk respons apabila proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dianggap tidak memuaskan oleh pihak penggugat.

Di sisi lain, pelaporan elite politik ke kepolisian menunjukkan adanya gerakan untuk saling menjatuhkan. Melansir Jawa Pos Sabtu lalu dengan kondisi seperti itu, “bahan bakar” untuk adanya ketegangan di antara elite akan terus tersedia. Atas ini semua, pemerintah dan penegak hukum harus cermat dan tepat dalam mengambil tindakan. Jika mereka tidak tepat, keselamatan pemerintahan Jokowi-JK akan jadi taruhan.

Pengamat politik Ray Rangkuti menilai, gerakan saling lapor itu menunjukkan kemerosotan etika politik dari para politikus saat ini. Hal tersebut diawali dengan banyaknya pernyataan-pernyataan yang sifatnya saling menjatuhkan dan membunuh karakter pihak lain, bukan lagi murni soal kritik. Ray Rangkuti menyatakan, hal tersebut disebabkan hilangnya tradisi saling mengklarifikasi alias tabayun satu sama lain. Mereka yang melapor itu tidak siap dengan terbukanya ruang publik di ranah politik. Dengan demikian, mereka dengan mudah menanggapi sesuatu secara frontal.

Menurut Ray Rangkuti, yang terjadi saat ini adalah seseorang berusaha “membunuh” lawannya melalui jalur resmi, yakni jalur hokum. Tidak ada lagi ruang dialog, yang ada hanya ruang saling serang dengan menjadikan hukum sebagai alat. Menurut dia, untuk mengatasi hal tersebut, harus ada sosialisasi secara cepat. Dalam hal ini, partai politik harus mengambil peran mengingatkan dan mengedukasi kadernya agar tidak mudah terpancing. Politik bukan alat untuk saling menjatuhkan, tapi alat untuk mempersatukan agar tercapai tujuan bersama.

Diketahui, dalam sepekan terakhir, hampir ada sepuluh laporan kepada Bareskrim Polri terhadap para tokoh publik di tanah air. Di antaranya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dilaporkan Bara JP ke Bareskrim Polri dengan dugaan melakukan penghinaan dan dugaan maker. Bahkan, Presiden Ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono termasuk yang dilaporkan atas dugaan penghasutan.

Lantas, benarkah gerakan saling lapor antar-elite politik menunjukkan kemerosotan etika politik dari para politisi kita saat ini? Lalu, bagaimana pula menghidupkan kembali dialog untuk mencari jalan keluar permasalahan bangsa dari kemelut ketegangan politik ini? Bagaimana pula menumbuhkan bahwa politik bukan alat untuk saling menjatuhkan, tapi alat untuk mempersatukan agar tercapai tujuan bersama?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi bersama beberapa narasumber yakni: Sidarto Danusubroto, pernah menjabat sebagai Ketua MPR hingga 2014 dan sekarang menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Prof Sutaryo, Guru Besar dan Pakar Pancasila dari UGM Jogjakarta, dan Pengamat politik Ray Rangkuti. (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: