Keberhasilan Desa Tlogoweru Kembangkan Tyto Alba Pemburu Tikus

2016-08-20-2

Seperti kami wawancarai pada awal Agustus 2016, penangkar Burung Hantu Tyto Alba pertama kali, Pujo Arto mengatakan penghasilan warga turun setiap musim panen, imbasnya tentu buruk. Dikatakan Warga banyak yang gagal panen, penghasilan pertanian pun tak pasti. Faktor itu yang menjadi sebab warga banyak yang merantau ke luar daerah, karena sejatinya pendapatan dari hasil pertanian tidak cukup memenuhi kebutuhan. Atas dasar itu Pujo Arto memutar otak agar bagaimana caranya geliat pertanian bisa direalisasi menggerakan ekonomi warga, ia pun berinisiatif mengembangkan Tyto Alba.

Awalnya pada 2011, Pujo Arto hanya membeli sepasang Tyto Alba dari desa tetangga. Tyto Alba kemudian ditangkarkan dalam kandang kurang lebih berukuran sekitar 4×6 meter dan tinggi 4 meter dengan dana swadaya wargq. Bersama kelompok tani Tulodho Makaryo dan kepala desa Tlogoweru Soetodjo, dia mempelajari cara mengembangkan burung hantu. Hasilnya, dengan kerja keras dan tetap teguh, Tyto Alba berhasil dikembangkan menjadi pemburu tikus handal dan juga populas diperbanyak.

“Tyto saya dapatkan dari desa sekitar sini, itu banyak jumlahnya. Saya ambil sepasang waktu itu kemudian saya kembangkan. Kami lakukan ini serta kami bentuk kader-kader di desa. Jadi kalau ditanya orang luar tentang Tyto Aba, orang desa juga tahu bagaimana cara pengembangannya,” terang lelaki 49 tahun itu.

Kini sekitar 5 tahun sejak pertama kali menangkarkan sepasang Burung Hantu jenis Tyto Alba pada tahun 2011, angka hasil pertanian warga desa Tlogoweru meningkat. Hal ini tidak lepas dari peran Pujo arto, bersama kelompok Tani Tulodho Makaryo, serta kepala desa yang berhasil menggerakan warga untuk menangkarkan Burung Tyto Alba. Bahkan, Pujo Arto menyebut, tahun 2016 ini hasil pertanian warga yang biasa ditanami padi ketika musim hujan dan jagung ketika musim kemarau keberhasilannya mencapai 99 persen.

“Setelah keberhasilan itu, otomatis menekan perkembangan tikus. Pengendalian populasi tikus berhasil dan secara langsung memengaruhi hasil produktivitas pertanian. Namun keberhasilan panen tidak tertumpu pada populasi burung hantu pemburu tikus, jadi ada juga faktor lainya seperti bagaimana caranya menekan hama penggerek batang, wereng,” imbuhnya.

Pujo Arto menerangkan, bahwa burung hantu efektif menekan populasi tikus. Secara spesifik satu Tyto Alba dewasa memakan dua tikus setiap malam nya, “Kalau Tyto itu sedang memiliki anakan bisa memburu tiga tikus,” tambahnya.

Artinya jika seratus burung hidup di sebuah desa, maka 200 tikus diburu Tyto Alba setiap malamnya, sehingga dalam satu tahun lebih dari 70 ribu tikus diberantas oleh 100 Tyto Alba. Keraguan akan keberhasilanm pengembangan burung hantu juga semakin terjawab dengan jumlah tikus yang mampu diburu Tyto Alba.

Menurut Pujo Arto, 500-an Tyto Alba dari keseluruhan rubuha Desa Tlogoweru terbang menuju wilayah sekitar. Desa tlogoweru pun menyuplai populasi Tyto Alba di desa sekitar bahkan di wilayah provinsi Jawa tengah. Keberhasilan mengembangkan Tyto Alba juga didukung dengan Peraturan Desa No. 4 tahun 2011 tentang larangan memburu burung hantu. Bahkan peringatan larangan tertulis dengan papan kayu yang bergambar larangan memburu burung hantu terpasang di hampir sudut jalan desa.

“Saya pastikan seluruh populasi burung hantu di sekitar berasal dari Tlogoweru. Makannya untuk petani di daerah lain itu tinggalkan cara lama membunuh tikus dengan cara setrum. Tyto Alba sudah terbukti berhasil, kalau masih ada yang pakai cara setrum, itu juga berbahaya bagi Tyto Alba bila ikut terbunuh,” ucap Pujo Arto.

Dia menerangkan bahwa sebetulnya penangkaran burung di Tlogoweru hanya untuk menyembuhkan burung yang sakit, seperti terjatuh atau terjerat jebakan. Di dalam penangkaran jumlahnya tidak banyak saat ini, hanya kurang dari sepuluh ekor. Sementara populsi Tyto Alba yang dihasilkan berasal dari indukan yang menetaskan telurnya di rubuha yang berdiri di sawah-sawah warga.

“Sebetulnya yang ditangkarkan itu burung yang terjatuh dari rubuha biasanya anakan, dan itu kemudian diserahkan warga untuk disembuhkan di lokasi penangkaran. Kadang kami kesulitan member pakan bila tidak ada tikus. Kami juga pelihara marmot, itu dipakai untuk makanan burung di penangkaran apabila tidak ada tikus. Itupun dengan biaya pribadi dan juga warga,” jelasnya.