Menakar Tantangan Dan Terobosan Pemberantasan Pungli

Semarang, Idola 92.6 FM – Upaya pemerintah memberantas pungutan liar mendapat dukungan masyarakat. Laporan masyarakat terkait pungli mulai diterima sejumlah lembaga yang dibentuk untuk memberantas praktik tersebut. Namun, memberantas pungli memang tidak mudah. Faktanya, sampai saat ini, pungli yang menimbulkan ekonomi berbiaya tinggi ini masih terjadi di sejumlah tempat.

Pemerintah pun terus mengerahkan segenap kekuatan untuk perang melawan pungli. Selain pembentukan Satgas Sapu Bersih pungli, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan mengawasi tujuh aspek kegiatan yang dianggap rawan pungutan liar. Selain tindakan hukum terhadap pelaku, Kemendagri juga menyiapkan sanksi penghentian pembayaran hak keuangan ke daerah selama enam bulan. Ketujuh aspek kegiatan rawan pungli yang dilaporkan masyarakat sejak Januari hingga September lalu itu adalah kepegawaian, pendidikan, perizinan, dana desa, pelayanan publik, hibah dan bantuan sosial, serta pengadaan barang dan jasa.

Sejak operasi pemberantasan pungli dicanangkan Presiden Jokowi pecan lalu, langkah tersebut mendapat dukungan penuh kepala daerah. Namun, saat memimpin rapat koordinasi dengan gubernur seluruh Indonesia, di Istana Negara Jakarta, Presiden mengingatkan, praktik pungli tak dapat diselesaikan secara parsial tetapi harus menyeluruh. Menurut presiden, penyelesaian pungutan tidak hanya untuk pungli semata, tetapi juga persoalan lain yang mengganjal yakni perizinan. Sebab, perizinan yang berbelit juga bisa berujung pungli.

Sementara itu, Mantan Ketua Muda Mahkamah Agung, Adi Andojo Soetjipto dalam Opini di Kompas, Sabtu lalu mengakui, memberantas pungli tidaklah mudah. Mengapa memberantas pungli tidak mudah? Hal itu karena, dari sejarahnya, pungli di negeri ini tidak dianggap sebagai suatu kejahatan, tetapi lebih sebagai kebiasaan yang sudah membudaya. Adi mencontohkan, sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno di negeri ini sudah ada yang namanya upeti. Di zaman penjajahan Belanda juga sudah ada ungkapan, “voor wat, Hoort wat” yang artinya “untuk apa, tentu ada apa-apanya”. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, kebiasaan ini menjadi berkembang sebagai keharusan yang dipaksakan jika seseorang membutuhkan pelayanan publik dari petugas yang berwenang. Sejak itu pungli baru dianggap sebagai suatu kejahatan.

Nah, apa sesungguhnya faktor yang membuat pungli begitu sulit diberantas? Benarkah ini semacam “kutukan” kultural yang sudah mendarah daging di mentalitas birokrat kita? Bagaimana pula pemerintah daerah bertindak dan bersinergi dengan satgas sapu bersih pungli?

Guna memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, kami berbincang dengan beberapa narasumber, yakni: Zainal Arifin Mochtar (Direktur Eksekutif PUKAT, Pusat Kajian Anti-Korupsi, UGM dan juga Pakar Hukum Tata Negara), serta Suyoto (Bupati Bojonegoro). (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: