Kiki Syahnakri: Lima Ancaman Global Bagi Indonesia

Kiki Syahnakri. (photo: tribunnews)

Semarang, Idola 92.6 FM – Ada lima ancaman global bagi Indonesia. Kelima hal itu yakni dua negara hegemoni Amerika Serikat dan Tiongkok, ideologi Islam transnasional, eks Partai Komunis Indonesia, dan America evangelisme.

Demikian dikemukakan Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawiran TNI AD Letjen (Purn) Kiki Syahnakri saat diwawancara Radio Idola 92.6 FM. Menurut Kiki, ideologi Pancasila masih akan tetap menjadi benteng dari ancaman yang datang dari dalam dan luar.

Menurut Kiki, merujuk pada ilmu strategi, terdapat teori center of gravity. Bagi Indonesia, centre of gravity untuk melemahkan Indonesia adalah Pancasila, umat Islam yang nasionalis, serta TNI. “Maka itu yang diserang dan dilemahkan ideologi global. Untuk itu komponen-komponen itu harus berbenah dalam rangka mempertahankan NKRI,” ujar Kiki

Kiki mengungkapkan, pascareformasi telah membuat bangsa kita demokrasi bebas namun tanpa batas dan disertai kewaspadaan. Ini membuat masuknya berbagai ideologi dan beberapa di antaranya bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

“Seperti khilafah, Liberal dan lain sebagainya. Itu sebenarnya bertentangan dengan Pancasila. Tapi demi demokrasi itu dibolehkan. Hizbut Tahrir di negeri asalnya sendiri di Mesir dan Yordania itu dilarang. Di sini sudah berbadan hukum.”

Menurut Kiki, bangsa ini kurang waspada. Maka bangsa ini perlu re-orientasi. Kiki merujuk pada pendapat Sukarno, sesuai dengan sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Kata Bung Karno, maka bangsa Indonesia harus beragama dengan berbudaya.

“Berbudaya artinya dengan membangun toleransi dan saling menghargai keyakinan umat lain. Dan sekarang, hati-hati. Kita sekarang dibentrokkan. Diadu keyakinan satu sama lain. Sengaja diadu itu. Harus hati-hati. Harus kembali ke situ. Harus saling menghargai dan membangun toleransi. Jangan mau diadu,” tandas Kiki.

Ideologi Pancasila untuk Membentengi Ancaman Global

Sementara itu, menurut Dekan Fakultas Manajemen Pertahanan Universitas Pertahanan-Laksamana Muda (TNI) Dr Amarulla Octavian, memperkuat ideologi Pancasila di semua lini menjadi salah satu upaya untuk membentengi Indonesia dari berbagai ancaman perang tak berbentuk. “Dalam praktiknya hal itu bisa dilakukan melalui peningkatan rasa cinta tanah air,” ujarnya.

Menurut Amarula, perang saat ini memang tidak hanya aspek militer, namun ideologi, budaya, sumber daya manusia,sumber kekayaan alam, ekonomi , politik dan hukum.

“Untuk itu kita harus siapkan cara terbaik dalam menghadapi perang di berbagai lini tersebut,” kata Amarulla.

Menurut Amarulla, terkait hubungan dengan dua negara adi daya Amerika Serikat dan Tiongkok, Indonesia harus tetap menjalin hubungan yang baik dengan dua negara tersebut.

Ada tiga kekuatan yang diprediksi akan semakin besar pada perkembangan dunia saat ini yakni kekuatan ideologi proteksionis sekuler setelah kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat, kekuatan jejaring ideologi Islam transnasional, dan kekuatan ideologi pasar bebas yang sangat mungkin dikomandani Tiongkok.

“Untuk meredamnya bagi pemerintah tidak ada jalan lain kecuali memperkuat ideologi Pancasila di semua lini,” tuturnya.

Sebagai latar belakang, perang tidak lagi bisa didefinisikan sebagai kekuatan militer yang saling menyerang dengan senjata. Merujuk harian Kompas (3/1), perang kini telah menjadi amorf atau tidak berbentuk. Bagi Indonesia, perang yang kini tidak berbentuk itu membawa banyak konsekuensi mengingat posisi geo-strategis dan geo politik negeri ini.

Indonesia diketahui memiliki posisi strategis di jalur perdagangan Asia Pasifik dengan rentang geografi yang lebar, jumlah penduduk yang banyak, serta kaya akan sumber daya alam. Meningkatnya agresivitas Tiongkok yang berhadap-hadapan dengan hegemoni Amerika Serikat membawa konsekuensi di kawasan Asia-Pasifik.

Saat ini, tidak ada Negara di Asia-Pasifik yang bisa menandingi kualitas dan kuantitas Tentara Pembebasan Tiongkok. Di sisi lain, tiga kekuatan yang diprediksi akan semakin besar adalah kekuatan ideologi proteksionis sekuler setelah kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat, kekuatan jejaring ideologi Islam transnasional, dan kekuatan ideologi pasar bebas yang sangat mungkin dikomandani Tiongkok. (Heri CS)