Mengusut Kartel Beras, Memperbaiki Tata Niaga Pangan

Topic Of The Day

Semarang, Idola 92.6 FM – Terungkapnya kasus beras oplosan yang dijual ke pasaran dengan harga tinggi memicu kontroversi. Di sisi lain, hal itu mengindikasikan bahwa masih terdapat persoalan dalam tata niaga pangan kita. Kuat dugaan pasar pangan kita masih dikuasai segelintir pemain besar atau mafia pangan yang menguasai hulu hingga hilir serta mengatur harga.

Sejumlah kalangan mendukung upaya pemerintah melalui Satgas Pangan dalam mengusut dugaan kartel beras. Namun, aparat penegak hokum perlu bertindak cermat agar tidak kontraproduktif bagi kelangsungan dunia usaha.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan tata niaga beras kurang sehat sebab masih dikuasai segelintir pemain besar sehingga berpotensi memicu pengaturan harga atau kartel. KPPU mencatat, di setiap daerah umumnya ada 5 perusahaan yang menguasai lebih dari 70% distribusi beras. Mereka selama ini memiliki penggilingan besar dan menjadi pemasok beras utama ke Jakarta.

Sementara itu, Guru Besar Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin menyatakan, kondisi perdagangan beras sudah mengalami perubahan drastis dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Kebijakan dan praktik lama sudah tak mampu menangani masalah perberasan saar ini. Pemerintah gamang untuk mengambil kebijakan yang tepat terhadap masalah perberasan, antara melepaskan ke pasar atau mengaturnya secara lebih besar. Situasi seperti saat ini belum pernah dibahas secara khusus. Ada yang senang dengan romantisisme masa lalu ketika pemerintah bisa mengatur harga beras, tetapi keadaan sudah berubah karena swasta bisa memasuki bisnis ini.

Sebelumnya, Satgas Pangan Polri menggerebek gudang beras milik PT Indo Beras Unggul (IBU) di Bekasi, baru-baru ini. Dari penggerebekan ini polisi menyita 1.161 ton beras bernilai. Beras yang diduga jenis IR 64 itu ‘disulap’ menjadi beras premium dengan diberi kemasan bagus. Selanjutnya beras-beras itu dijual di pasar ritel modern seharga Rp 20.400/kg. Padahal, IR 64 masuk kategori beras medium yang harga eceran tertingginya Rp 9.000/kg. Selain itu, benih maupun pupuk untuk IR 64 disubsidi pemerintah. Polisi pun saat ini terus mengusut kasus ini, sekaligus mengungkap dugaan praktik mafia beras.

Lantas, berkaca pada terbongkarnya kasus beras oplosan bernilai triliunan rupiah, bagaimana memperbaiki tata niaga pangan kita? Upaya apa yang bisa dilakukan untuk memutus mata rantai mafia pangan? Di mana pula sebenarnya akar persoalan masih belum optimalnya tata kelola pangan kita?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Dwi Andreas, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB (Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI)) dan Yeka Hendra Fatika, Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka). (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: