Bagaimana Memanifestasikan Makna Berkurban Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara?

Semarang, Idola 92.6 FM – Alkisah, Nabi Ibrahim al-Khalilullah AS, pada sebuah bulan khusus menyembelih kurban fisabilillah yang tak terkira jumlahnya. Hal itu menunjukkan betapa kaya dan dermawannya seorang Ibrahim pada masa itu. Ia menyembelih tak kurang 1.000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Kebaikan dan kemuliaan hatinya membuat banyak orang terkagum-kagum. Bahkan langit pun turut bergetar. Para malaikat turut iri atas kebaikan yang dilakukan Ibrahim.

Sebaliknya, Nabi Ibrahim menganggap lumrah. Bahkan, ia sempat berkata, “Kurban sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku memiliki anak lelaki, pasti akan aku sembelih karena Allah dan aku kurbankan kepada-Nya,” kata Nabi Ibrahim AS, sebagai ungkapan karena Siti Sarah, istri Nabi Ibrahim belum juga mengandung atau dikaruniai keturunan.

Singkat kata, Sarah menyarankan Ibrahim agar menikahi Siti Hajar, seorang budaknya dari Mesir. Dan, akhirnya, melalui Siti Hajar, Ibrahim memperoleh anak yang kemudian kita kenal dengan nama Ismail. Ketika Ismail menanjak remaja, Allah seolah menagih janji atau nazar Ibrahim yang siap mengurbankan anaknya—jika ia memiliki kala itu. Dan, pada akhirnya, Ibrahim memenuhi janjinya—meski kemudian, Ismail anaknya digantikan dengan seekor domba.

Demikian kisah yang sarat makna yang melatar belakangi Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban bagi umat Islam. Dalam konteks sejarah, Hari Raya Kurban berarti refleksi atas ketulusan dan loyalitas Nabi Ibrahim terhadap perintah untuk menyembelih anaknya, Ismail. Peristiwa ini bisa dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan seorang Ibrahim pada titah sang pencipta.

Intelektual Muslim asal Iran, Ali Syariati, dalam bukunya ‘Hajj’, ibadah ritual Kurban bukan sekadar memiliki makna bagaimana manusia mendekatkan diri kepada Allah SWT tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama manusia, terutama mereka yang tergolong sebagai kaum dhuafa dan marginal. Ali Syariati memaknainya sebagai sebuah perumpamaan atas kemusnahan dan kematian ego.

Berkurban berarti menahan diri dari, dan berjuang melawan, godaan ego. Kurban atau penyembelihan hewan sebenarnya adalah lambang dari penyembelihan hewan (nafsu hewani) dalam diri manusia. Ibadah Kurban juga memiliki pesan bahwa umat Islam diharuskan lebih mendekatkan diri dengan kaum dhuafa (kaum miskin) dan lebih mengutamakan nilai-nilai persaudaraan dan kesetiakawanan sosial.

Lantas, merefleksi hari raya Idul Adha, bagaimana memanifestasikan makna berkurban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Sudahkah kita benar-benar memahami makna berkurban sesungguhnya?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Masdar Hilmy (Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya) dan Prof KH Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta). [Heri CS]

Berikut diskusinya: