Bagaimana Merajut Keragaman Demi Kemakmuran dan Mengesampingkan Perbedaan Demi Menyemai Harmoni Bangsa?

Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam dunia korporasi, sudah lama dipelajari, hubungan antara keragaman (diversity) dengan kreativitas. Betapa sebuah kelompok yang anggotanya memiliki cara berpikir, keyakinan, dan pandangan yang berbeda, justru mampu melahirkan ide-ide yang kreatif dan inovatif, serta dapat memecahkan suatu masalah yang pelik.

Dan sebaliknya, dalam sebuah kelompok yang seluruh anggotanya berasal dari suku, dan agama yang sama, meski terlihat kompak, tetapi mereka cenderung memliki perspektif yang sama. Sehingga, akan menghasilkan gagasan yang ala kadarnya, miskin kreativitas, dan tidak merepresentasikan dunia nyata yang beragam. Itulah mengapa, Jon R. Katzenbach dan Douglas K. Smith dalam buku terkenal mereka “The Wisdom of Teams” juga memberikan anjuran serupa. Tim yang Efektif dan berkinerja tinggi, adalah tim yang berisi orang-orang yang berbeda.

Untungnya, nenek moyang bangsa Indonesia sejak awal sudah mewariskan local wisdom (kearifan lokal) yang luar biasa, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Maka, sudah waktunya bagi kita untuk terus berusaha menggali nilai-nilai luhur bangsa sendiri dan menerapkannya bagi kejayaan dan kemakmuran kita.

Hanya sayangnya, belakangan ini -entah mengapa- sebagian masyarakat bangsa kita cenderung lebih suka mempertajam perbedaan dibanding menemukan kesamaan. Sehingga tak heran, kalau kita malah semakin sering menuai pertentangan, daripada menuai rahmat dari perbedaan itu.

Sukmawati Soekarnoputri.

Terkini, hal itu tercermin dari kasus kontroversi Puisi Sukmawati Soekarnoputri berjudul “Ibu Indonesia” yang di dalamnya menyinggung tentang azan dan cadar, menjadi kontroversi. Di medsos terutama, sebagian orang kemudian seolah ramai-ramai menghakimi dan menghujat Sukmawati tanpa dasar dan pemahaman yang kuat. Bahkan, ada pihak yang memolisikannya.

Maka pertanyaan pentingnya adalah bagaimanakah cara merajut keragaman itu demi kemakmuran, dan sebaliknya, menjauhkan kecenderungan untuk mempertentangkan perbedaan? Lalu, apa saja upaya para pemangku kepentingan, dalam meminimalkan potensi konflik selama berlangsungnya tahun politik ini? Lalu, apa antisipasi yang mesti disiapkan untuk menghindari penggunaan “politik identitas” dalam Pilgub, Pileg, dan Pilpres nanti?

Guna memperoleh perspektif atas permasalahan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: KH Sholahudin Wahid (Gus Solah) (agamawan, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur) dan Muhsin Jamil (Dekan Fakultas Ushuludin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang). [Heri CS]

Berikut diskusinya: