Bagaimana Merawat Kebhinekaan sebagai Rahmat dan Menjaga Modal?

Semarang, Idola 92.6 FM – Bangsa Indonesia diwarisi filosofi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mengrwa yang dilembagakan dalam tata pemerintahan Majapahit. Jaminan kebebasan beragama tersebut mampu meredam konflik internal antara pemeluk agama Buddha dan Syiwa sehingga Majapahit bisa membangun imperium dunia di abad ke-14. Filosofi tersebut indah karena tidak hanya menjamin kesetaraan dalam kebinekaan agama tetapi juga suku, ras ataupun golongan di Indonesia.

Demikian dikemukakan Doktor Sosiologi Universitas Padjajaran Bandung-Jannus TH Siahaan dalam opini di Kompas (30/07/2018). Menurut Jannus, konsep pendirian negara bangsa atau nation state oleh Soekarno menegaskan asas kesetaraan dalam ketatanegaraan setiap orang dijamin berkedudukan sama di hadapan hukum. Hal tersebut menguatkan konsesus pendiri bangsa bahwa Pancasila yang berjiwa inklusif adalah dasar NKRI.

Prinsip Ketuhanan yang Maha Esa adalah konseptualisasi kebebasan beragama di Indonesia. Karena setiap sila saling menjiwai, maka merangkul persatuan, berdemokrasi, dan mewujudkan keadilan sosial adalah wujud religiusitas bangsa.

Namun sayangnya, kebinekaan belum dilembagakan sepenuhnya karena komunikasi hanya berlangsung dalam komunitas masing-masing. Kalaupun berlangsung komunikasi lintas komunitas, sering hanya seremonial karena ada prasangka dan curiga. Interaksi antar-warga Negara dengan mindset silo atau terisolasi akan gagal mewujudkan moto “kebinekaan adalah anugerah” karena gagal menjadikannya modal sosial yang produktif.

Ini yang akan kita diskusikan. Bisakah penduduk Indonesia merayakan keragaman tanpa intoleransi dan kekerasan? Bagaimana cara kita keluar dari cangkang silo mindset atau pola pikir terisolasi agar mampu mewujudkan kebinekaan adalah anugerah? Bagaimana mengoptimalkan bahwa kemajemukan adalah rahmat, bukan sekat yang membuat kita tercerai berai? Bagaimana pula mewujudkan agar kebinekaan sebagai modal social ini tidak hanya dalam tataran teoritis namun juga dalam praksis kehidupan sehari-hari?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Dosen FISIP Universitas Brawijaya Malang Wawan Sobari, PhD dan Pengasuh Ponpes Tebuireng Jombang KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah). [Heri CS]

Berikut diskusinya: