Ketika KPK Tiada Hari Tanpa Operasi Tangkap Tangan, Bagaimana Memperkuat Sistem dan Pengawasan untuk Memberantas Korupsi?

Semarang, Idola 92.6 FM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini meluncurkan Survei Penilaian Integritas 2017. Hasil survei itu kian mengukuhkan fakta bahwa korupsi adalah masalah terberat bangsa ini. Merujuk Tajuk Rencana Kompas (23/11/2018), temuan survei mengukuhkan pandangan proklamator Mohammad Hatta. Hatta pernah mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari budaya bangsa. Korupsi menjadi bagian dari praktik sehari-hari.

Kita ketahui, hasil temuan KPK itu secara umum menyebutkan, “Praksis korupsi masih terjadi karena siapapun yang berupaya melaporkannya kepada penegak hukum justru dikucilkan dari lingkungan kerja dan kariernya dihambat”. Bahkan, menurut temuan survei ini, ada lembaga yang menolak lembaga itu disurvei. Temuan survei itu menunjukkan ada masalah besar dalam budaya birokrasi kita. Korupsi seperti sudah menjadi oli pembangunan dari kehidupan birokrasi.

Uang negara yang diperoleh dari pajak atau penerimaan negara bukan pajak dijadikan “bancakan” bersama. Segala urusan yang berkaitan dengan publik dijadikan sarana untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Birokrasi perizinan dipersulit karena semakin sulit—berarti ada transaksi untuk mempermudah.

Dalam situasi oligarki korupsi di lingkungan birokrasi, orang yang berniat baik melaporkan terjadinya penyimpangan, berani bersikap, justru dikucilkan dari lingkungan kerja—disingkirkan dan karirnya dihambat. Kebiasaan itu menunjukkan birokrasi kita sedang sakit parah dan kronis. Perkembangan budaya korupsi di birokrasi sebagaimana temuan survei sungguh mengecewakan public.

Lantas, melihat kondisi ini, setelah tiada hari KPK melakukan aksi operasi tangkap tangan, lalu bagaimana jalan pemberantasan korupsi? Bagaimana memperkuat sistem dan pengawasan untuk mengurangi potensi korupsi di pemerintahan? Belum perlukah hukum pembuktian terbalik? Selain itu, Apakah sumber dana partai perlu diubah?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung Prof Asep Warlan Yusuf dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM Yogyakarta Zainal Arifin Mochtar. (Heri CS)

Berikut diskusinya:

Artikel sebelumnyaGanjar: Libatkan Masyarakat Untuk Ikut Menata Kawasan Borobudur
Artikel selanjutnyaDarurat Sampah Plastik, Apa Upaya yang bisa Dilakukan Civil Society?