Membaca Fenomena Politisi Kutu Loncat dan Transfer Caleg-Bagaimana Memperkuat Pelembagaan Politik Parpol?

Semarang, Idola 92.6 FM – Fenomena politisi kutu loncat dan transfer calon anggota legislatif (caleg) marak terjadi jelang Pileg dan Pilpres 2019. Ini lazim dilakukan politisi dalam kancah perpolitikan kita. Padahal sesungguhnya ini menyimpan persoalan krusial yang mendasar bagi kualitas demokrasi kita. Fenomena ini akan semakin melestarikan pragmatisme politik yang akut dalam diri partai, politisi, maupun rakyat pemilih. Dalam konteks ini–pemilu semata hanya jadi momen untuk menduduki jabatan tanpa kesungguhan untuk memikirkan persoalan kebangsaan.

Di sisi lain, mudahnya caleg berpindah-pindah partai politik untuk bertarung dalam pemilu menjadi salah satu indikasi lemahnya pelembagaan politik partai. Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak sehat bagi demokrasi karena aktivitas politik di partai didekati secara pragmatis bukan ideologis.

Fenomena calon anggota legislatif petahana yang mencalonkan diri melalui partai berbeda juga muncul pada Pemilu 2019. Pada saat pendaftaran calon anggota DPR yang ditutup 17 Juli lalu, beberapa pemimpin partai juga sempat menyebutkan beberapa calegnya yang merupakan politisi “pindahan” dari partai lain. Fenomena ini marak disebut sebagai transfer caleg seperti transfer pemain sepak bola untuk memperkuat skuat atau komposisi partai. Caleg seperti menjadi komoditas sehingga transfer pun disertai dengan transaksi uang kepindahan.

Partai tersebut antara lain, Partai Berkarya yang mencalonkan Siti Hediati Hariyadi yang sebelumnya merupakan politisi Partai Golkar. Partai Nasdem mencalonkan Lucky Hakim yang sebelumnya merupakan kader Partai Amanat Nasional (PAN) dan Okky Asokawati yang sebelumnya kader Partai Persatuan Pembangunan atau P3. Sementara itu, PDI Perjuangan merekrut pendiri Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Yusuf Supendi sebagai calegnya.

Lantas, membaca fenomena politisi Kutu Loncat dan transfer caleg jelang Pemilu Raya 2019, bagaimana memperkuat pelembagaan politik parpol? Fenomena ini sesungguhnya muncul karena alasan ideologis atau pragmatis? Apa dampaknya bagi proses demokratisasi kita ke depan?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Firman Noor dan politisi, mantan anggota Partai Golkar dan Demokrat Ruhut Sitompul. [Heri CS]

Berikut diskusinya: