Menyoroti Perang Kata ‘Cebong dan Kampret’, Sinisme Dua Kubu tapi NirGagasan

Semarang, Idola 92.6 FM – Jelang pemilihan presiden 2019, sebutan bagi kelompok pendukung tokoh tertentu menguat di tengah masyarakat. Sinisme dibangun oleh dua kubu di tahun politik. Di media sosial, muncul sebutan bagi pendukung Presiden Joko Widodo, yaitu kecebong. Sementara pendukung tokoh selain Jokowi kerap disebut kampret.

Fenomena ini terjadi sejak Jokowi bertarung dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dalam pilpres 2014. Sinisme tersebut berlanjut hingga kini. Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Wawan Masudi mengatakan, hal itu masih terjadi hingga sekarang karena masif digunakan di media social. Dalam dimensi fenomena sosial ini merupakan dampak langsung penggunaan medsos sebagai alat kampanye—untuk saling serang dan menjatuhkan lawan politik.

Sebutan cebong dan kampret, menurut Wawan, awalnya dilakukan warganet guna mengelompokkan perbedaan pilihan politik masyarakat. Dua sebutan itu cukup menghangatkan situasi politik jelang pemilu dan sesudahnya.

Jika kita mencermati, hal seperti ini hampir tidak pernah terlihat dalam pemilu di negara lain, setidaknya di Australia dan Norwegia. Para pendukung kandidat dalam pemilu di negara yang dianggap matang berdemokrasi, cenderung lebih kritis mengamati ide-ide serta gagasan calon pemimpin dan partai politiknya. Di negara demokrasi yang lebih dewasa, orang bertarung di level ide, gagasan, kebijakan yang akan diimplementasikan bukan di level identitas serta labelisasi.

Lantas, melihat sinisme labelisasi perang kata “cebong dan kampret” antarkubu jelang pilpres, ini sesungguhnya mencerminkan fenomena apa dalam politik kita? Apa pula yang membuat kondisi perpolitikan kita lebih cenderung menjadi ajang persaingan figur dan politik identitas ketimbang adu gagasan dan adu program?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Wawan Mas’udi,Ph.D (Pengamat Politik dari UGM Yogyakarta) dan Hendri Satrio (Pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina Jakarta). [Heri CS]

Berikut diskusinya: