Babak Semi Final Piala Dunia 2018, Inggris vs Kroasia

Pertandingan kedua babak semifinal Piala Dunia 2018, nanti malam akan mempertemukan timnas Kroasia dan timnas Inggris di Stadion Luzhniki.

Untuk melaju ke babak semifinal ini, kedua tim melalui cara yang berbeda. Inggris tidak menemukan perlawanan yang berarti dari timnas Swedia dan berhasil menang 2-0 di Samara Arena. Dua gol The Three Lions dicetak melalui sundulan oleh Harry Maguire pada menit ke-30 dan Dele Alli pada menit ke-58.

Beberapa jam setelahnya, Kroasia harus bersusah payah mengalahkan tuan rumah Rusia lewat drama adu penalti di Stadion Olimpiade Fisht. Kedua tim bermain imbang 2-2 hingga babak perpanjangan dan kemudian Kroasia menang di adu penalti dengan skor 4-3. Kondisi ini tentunya menguntungkan Inggris karena dipastikan stamina pemain Kroasia terkuras. Sebagai catatan, Kroasia juga harus bertanding hingga adu penalti pada babak 16 besar melawan Denmark.

Mungkin itulah kenapa, meski ini jadi semifinal pertama Inggris sejak Piala Dunia 1990, tetapi pelatih Manchester United, Jose Mourinho, termasuk menjagokan Inggris untuk lolos ke final. “Inggris punya peluang emas lolos ke final, bahkan juara. Tak ada yang mustahil,” kata dia.

Pelatih 55 tahun itu tentu bukan asal bicara manis lantaran mencari nafkah di Inggris. Mourinho punya alasan kuat kenapa ia menjagokan Inggris. Menurut dia, skuad pemain Inggris didominasi pemain muda dengan rata-rata usia 26 tahun.

Jose Mourinho.

Muda saja tidaklah cukup. Menurut dia, Jesse Lingard dan kawan-kawan sudah kenyang akan pengalaman di kompetisi terketat di dunia, yakni Liga Primer Inggris, serta Liga Champions.

Akan tetapi, bekas pelatih Real Madrid itu mengingatkan skuad pemain jempolan saja bukan jaminan bisa tampil baik. Ada factor lain, seperti kekompakan tim dan keberuntungan.

Soal keberuntungan, Inggris cukup teduh di bawah payung Dewi Fortuna. Mereka relatif mendapat lawan yang enteng sejak fase grup. Berada di Grup G, Inggris ditantang lawan tak sepadan, yakni Tunisia dan Kosta Rika. Mereka kalah oleh Belgia.

Beranjak ke babak 16 besar, Inggris berduel melawan Kolombia yang punya kualitas pemain hampir sama kuat. Inggris lolos setelah imbang 1-1 dan unggul di babak tostosan. Selanjutnya, di babak perempat final, mereka bertemu dengan lawan yang tergolong mudah, yakni Swedia.

Dalam laga di Samara, Inggris tampil dominan. Kekuatan fisik pemain muda Tiga Singa berbicara banyak dalam laga tersebut. Harry Maguire dan rekan-rekan tampil beringas tanpa lelah. Tak cuma galak, Inggris juga kuat di semua lini.

Buktinya, mereka dengan mudah merebut bola dari kaki Andreas Granqvist dan kawan-kawan. Ditambah lagi, penampilan apik Jordan Pickford di bawah mistar sukses menangkal terjangan bola lawan. Inilah generasi sepak bola Inggris hasil gemblengan Liga Primer, kompetisi paling ketat sejagat, yang mulai berputar sejak 1992.

Gelandang Tiga Singa, Eric Dier, mengakui anggapan tersebut. Kesediaan tim-tim Inggris memakai jasa pemain muda lokal dalam beberapa tahun terakhir, membuahkan hasil manis. “Kami mampu bermain dengan perilaku baik, komitmen, dan mental kuat,” kata pemain 24 tahun itu.

Dier pun yakin skuad Inggris saat ini masih bisa berkembang lagi di luar Piala Dunia 2018. Menurut dia, timnya punya ambisi besar menggapai prestasi tertinggi.

Pelatih Inggris, Gareth Southgate, juga yakin tim asuhannya masih bisa berkembang lebih bagus lagi. “Skuad ini bukan cuma punya kualitas dan mental kuat. Mereka juga pekerja keras. Sesuatu yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh pasti berbuah manis,” kata pelatih 47 tahun itu.

Pelatih Inggris, Gareth Southgate.

Di sinilah keterhubungan antara filsafat dan sepak bola. Filsafat merupakan ikhtiar mencari kebijaksanaan. Kebijaksanaan tidak melekat tetapi dicari lewat pembiasaan. Kekuatannya terletak pada kejelian dan keseringan untuk berpikir dan bertindak secara kreatif. Selain itu, sepak bola sering menjadikan filsafat sebagai bagian dari petualangannya. Setiap tim pasti memiliki filosofi tertentu dalam memainkan bola. Pernah tercatat bagaimana Belanda terkenal dengan total football-nya, Barcelona dengan permainan tiki-taka-nya, Brasil dengan gaya samba-nya. Gaya yang ditampilkan merupakan ikhtiar untuk mencari kemenangan.

Sama seperti filsafat yang menggunakan berbagai metode, demikian juga sepak bola perlu menggunakan banyak taktik untuk bisa mengalahkan lawan. Pelatih bersama pemain akan berdiskusi (dan bahkan berbeda pendapat) terkait teknik atau formasi yang akan dilakukan. Dalam diskusi muncul aneka pertanyaan dan jawaban. Terkadang menguras energi dan pikiran. Tim yang disiplin dalam bermain (menjalankan taktik sesuai instruksi) akan berpeluang besar memperoleh kemenangan. Sementara tim yang ceroboh dan menganggap remeh kedisiplinan, akan lebih mudah menelan kekalahan.

Maka, menjadi sangat menarik untuk ditunggu, apakah si Pekerja Keras yang DISIPLIN dalam tim Inggris yang akan memenangkan pertarungan? Atau, justru tim yang bertabur bakat dalam diri Kroasia yang akan memenangkannya? (donas)