Bagaimana Membenahi Tata Niaga Penerbangan Kita?

Semarang, Idola 92.6 FM – Beberapa waktu belakangan, muncul viral di media sosial bahwa bagi masyarakat Aceh yang hendak ke Jakarta atau sebaliknya mereka memilih jalan-jalan ke negara tetangga di Malaysia untuk transit di Kuala Lumpur. Hal itu ditempuh sebagai upaya untuk mendapat biaya tiket yang lebih murah ketimbang harus melakukan penerbangan langsung dari Aceh ke Jakarta. Sebab, jika penerbangan langsung ongkosnya bisa berkali-kali lipat. Senyampang itu, maka muncul ironi baru bahwa untuk menempuh perjalanan di dalam negeri kini mereka juga harus membawa passport.

Nah, fenomena ramai-ramai membuat paspor hanya untuk pergi ke Jakarta yang dilakukan warga Aceh itu akhirnya berbuah manis—meski belum sepenuhnya manis. Baru-baru ini, Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/INACA) sepakat untuk menurunkan harga tiket pesawat terbang.

Kesepakatan ini diambil dengan memperhatikan keluhan masyarakat yang menilai tarif tiket penerbangan domestik mahal. Keluhan soal tarif tiket pesawat antara lain diunggah melalui petisi di situs change.org—dan tentu saja oleh berbagai kisah viral Jakarta-Aceh yang mesti bawa passport itu.

Namun, sejumlah pihak menilai kenaikan tarif menjadi salah satu upaya bertahan dalam situasi industry penerbangan yang kurang baik. Perang tariff selama ini berpotensi membawa ke situasi yang lebih buruk. Di sisi lain, Kesepakatan maskapai penerbangan yang tergabung dalam INACA menurunkan harga jual tiket pesawat rute domestik, ternyata tak mendapat sambutan meriah di Aceh. Sebab, penurunan harga tiket domestik yang digembar-gemborkan turun sampai 60 persen, ternyata masih jauh dari harga penerbangan rute internasional. Itu sebabnya, sebagian besar warga Aceh akan tetap memilih rute penerbangan internasional, Banda Aceh – Kuala Lumpur – Jakarta atau kota lainnya di Indonesia.

Ari Askhara, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia.

Sementara, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia Ari Askhara menyatakan, penurunan tarif tiket berlangsung sejak Jumat lalu, antara lain untuk rute Jakarta-Denpasar, Jakarta-Yogyakarta, Jakarta Surabaya dan Bandung-Denpasar. Penurunan tarif berkisar antara 20 hingga 60 persen dan merupakan keputusan maskapai masing-masing.

Sementara itu, pengamat penerbangan Alvin Lie berpendapat, secara global industri penerbangan pada tahun 2018 berada dalam situasi sulit akibat kenaikan harga avtur. Jika tarif tidak dinaikkan, maskapai terancam gulung tikar. Soal tarif penerbangan domestik yang lebih mahal daripada tarif penerbangan internasional, menurut Alvin, dipicu oleh perbedaan harga avtur di dalam dan di luar negeri.

Lantas, mengurai kusut masai persoalan ini, apa yang terjadi dengan tata niaga penerbangan kita sehingga tiket penerbangan domestik langsung (direct) ada yang justru lebih mahal daripada penerbangan melalui transit di negara lain? Apa sesungguhnya akar masalahnya? Bagaimana ke depan memperbaiki kondisi ini agar tidak muncul ironi dan masyarakat sebagai konsumen mendapat layanan prima dengan harga tiket yang proporsional dan tetap aman?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Alvin Lie (Pengamat Penerbangan/ Ketua Jaringan Penerbangan Indonesia) dan Tulus Abadi (Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)). (Heri CS)

Berikut diskusinya: