Bagaimana Memperbaiki Iklim Investasi dan Meningkatkan Ekspor agar Pertumbuhan Ekonomi Tinggi Tidak Lagi Bersifat Nostalgia?

Semarang, Idola 92.6 FM – Persoalan ekonomi masih menjadi satu persoalan di antara berbagai persoalan bangsa yang mesti menjadi fokus pekerjaan rumah bagi pemerintah. Sebab, berbagai manuver dan terobosan kebijakan yang telah dibuat melalui paket kebijakan ekonomi berjilid-jilid—masih belum berdampak signifikan.

Saking beratnya persoalan ini, dalam sebuah kesempatan, Menteri PPN/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengibaratkan bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi tinggal nostalgia. Sebab, menurut catatan Bappenas, pertumbuhan ekonomi Indonesia terjebak pada kisaran 5% selama hampir dua dekade terakhir.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam periode 2000-2018 hanya 5,3%. Berdasarkan diagnostik pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh Bappnenas, asumsi makro pertumbuhan ekonomi 2020-2024 berkisar 5,4% – 6%.

Pada periode 1980-1996, Indonesia pernah mengalami pertumbuhan ekonomi yang terbilang ideal. Bukan hanya angka pertumbuhan tinggi dengan rata-rata 6,4% namun faktor pendorong pertumbuhan pun berkualitas. Indonesia pada periode itu mulai berhenti mengandalkan komoditas minyak dan beralih mengandalkan penerimaan pajak dan memanfaatkan sumber daya alam lain seperti kayu dan hasil hutan. Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga mengandalkan industri manufaktur padat karya seperti tekstil dan garmen, elektronik, alas kaki dan sebagainya.

Lantas, melihat begitu beratnya problem ekonomi, bagaimana memperbaiki iklim investasi dan meningkatkan ekspor agar pertumbuhan ekonomi tinggi tidak lagi bersifat nostalgia? Terobosan apa yang mesti terus digali dan dicari dalam upaya mengatasi problem ini?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah dan Ketua Tim Ahli Wapres Jusuf Kalla Sofyan Wanandi. (Heri CS)

Berikut diskusinya: