Bagaimana Menanggulangi Politik Kebohongan dan Apa Akarnya?

Broken Politics
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Kemenangan Donald Trump sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat telah menimbulkan kontroversi di kalangan pengamat politik. Dia bukannya curang dalam melakukan penghitungan suara melainkan yang disoroti adalah provokasi dan kebohongan dalam materi kampanyenya.

Bahkan, setelah duduk di Gedung Putih selama setahun menjadi presiden, The Washington Post menghitung Trump telah berbohong sebanyak 2.140 kali. Tak ayal lagi, maka bermunculan diksi semacam truth decay, post truth, fake news, hoaks dan semacamnya yang menjadi bagian dari politik kebohongan dalam perebutan kekuasaan.

Demikian narasi yang ditulis Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof Komaruddin Hidayat dalam opininya di Kompas Kamis (13/06/2019), “Politik Kebohongan”. Menurut Komaruddin, di negara mana pun setiap diselenggarakan pemilu selalu muncul isu terjadinya kebohongan dan kecurangan.

Dalam konteks saat ini, di Indonesia, jelang dan pasca Pemilu 2019, menurut Komaruddin, terdapat 4 faktor yang membuat situasi politik terasa memanas dan mengancam persatuan bangsa. Pertama, kondisi masyarakat Indonesia sangat plural, tersebar ke dalam ratusan pulau dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang tidak merata.

Kedua, penerapan demokrasi liberal dalam Pemilu yang telah membuka peluang bagi kebangkitan politik identitas keagamaan dan etnis yang hal ini kemudian dikapitalisasi oleh para politisi sehingga menciptakan polarisasi masyarakat. Ketiga, pengaruh disrupsi social yang diakibatkan oleh kemunculan media social dan keempat, beredarnya hoaks yang ditengarai menjadi bagian dari strategi kampanye untuk memenangi kontestasi pemilu.

Lalu, pertanyaannya, seberapa besar kecurangan dan politik kebohongan terjadi dalam Pemilu 2019 dan bagaimana mekanisme penyelesaiannya? Apa sesungguhnya akar dari politik kebohongan dan bagaimana menanggulanginya?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof Komaruddin Hidayat, Peneliti Senior LIPI Prof Siti Zuhro, dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako/PUSako)/Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Feri Amsari, MH. (Heri CS)

Berikut diskusinya:

s