Bagaimana Mestinya Sebuah Negara Menyejahterakan Warganya melalui Instrumen Alat Ukur Pertumbuhan Ekonomi, produk domestik bruto atau Indeks Kebahagiaan (Happiness Index)?

Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam literatur ilmu ekonomi dikenal beberapa instrumen pengukuran kinerja perekonomian. Di antaranya pertumbuhan ekonomi (economic growth), produk domestic bruto (gross domestic product/ DGP), serta pendapatan per kapita (income per capita), yang perhitungannya didasarkan pada sumberdaya modal (capital resources), output produksi, dan kekayaan finansial.

Pada perkembangannya, muncul konsep-konsep baru mengenai kesejahteraan bangsa (nation welfare) yang tidak semata-mata mendasarkan diri pada hal yang bersifat materi. Sebagai model alternative, konsep-konsep tersebut menawarkan berbagai penilaian dengan dimensi yang lebih luas, seperti aspek psikologis dan spiritual.

Salah satu konsep yang menarik untuk didiskusikan adalah Gross National Happiness (GNH) dan Happiness Index (Indeks Kebahagiaan). Bagi sebagian pihak, GDP dianggap gagal menempatkan manusia sebagai aktor utama pembangunan, karena hanya berlandaskan faktor-faktor ekonomi, dengan memandang manusia tak lebih dari sekadar faktor tenaga kerja.

Salah satu kritikan keras disuarakan oleh Stiglitz, Sen, dan Fitoussi yang menyatakan bahwa GDP gagal menjawab tantangan terkait kualitas hidup manusia sebagai individu dalam pembangunan dan pentingnya relasi antar individu dalam masyarakat. Perspektif yang semata-mata berdasarkan pada faktor produksi dan kekuatan finasial pada akhirnya menggeser keutamaan hidup; contohnya ketika dunia dipenuhi produk iklan yang menampilkan model bertubuh kekar, memakai arloji mewah, serta menenteng smartphone terbaru, maka image tersebut akan melekat dalam benak banyak orang dan menjadikannya sebagai standar orang sukses.

Sementara dari tinjauan spiritualitas, penampilan bagus dan harta yang dimiliki tidak terbukti membawa kebahagiaan hidup. Studi empiris juga mengungkapkan bahwa individu yang tidak memiliki banyak harta, bisa jadi hidupnya bahagia, karena mempunyai banyak sahabat atau hidup dalam tingkat kekerabatan yang erat. Dari sudut pandang tersebut, muncullah gagasan Happiness Index.

Lalu, “Apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dalam Happiness Index, dan bagaimana mengukurnya?”. Pada prinsipnya, kebahagian merupakan sesuatu yang abstrak dan subyektif. Meskipun begitu terdapat keyakinan bahwa negara yang bahagia, selain menghasilkan pendapatan tinggi, juga memiliki ikatan yang kuat dalam komunitas sosial, kepercayaan masyarakat masyarakat yang tinggi pada pemerintah, serta kemampuan membangun kehidupan bermasyarakat secara berkualitas.

Salah satu negara yang mencanangkan kebahagiaan sebagai indeks nasional adalah Bhutan. Konsep ini dikemukakan pertamakali oleh Raja Bhutan, Jigme Singye Wangchuk pada era 1970’an. Dalam pandangannya, pembangunan berkelanjutan seharusnya diwujudkan melalui pendekatan holistik, dengan memperhitungkan faktor-faktor ekonomi dan non-ekonomi.

Di samping itu, kebahagiaan pada hakekatnya lebih dari sekedar inspirasi, melainkan prinsip utama bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan publik. Secara filosofis dinyatakan bahwa jika suatu pemerintah tidak mampu menciptakan kebahagiaan bagi warganya, maka tidak ada gunanya pemerintah tersebut berdiri.

Lantas, dalam konteks tantangan era saat ini, instrumen Apa yang Relevan Dipakai Sebuah Negara dalam menyejahterakan warganya? Benarkah, Gross National Happiness (GNH) dan Happiness Index (Indeks Kebahagiaan) menjadi instrument yang relevan dalam mengukur keberhasilan sebuah Negara dalam menyejahterakan warganya?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, nanti kita akan berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Mohammad Faisal, Ph.D (Direktur Center of Reform On Econimics (CORE) Indonesia) dan Lana Soelistianingsih (Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia). (Heri CS)

Berikut diskusinya:

Artikel sebelumnyaPLN Buka Stan di Transmart Buat Pelanggan Yang Mau Tambah Daya
Artikel selanjutnyaKolaborasi Seperti Apa yang Perlu Dilakukan dalam Upaya Mewujudkan Agenda SDGs pada 2030?