Di Tengah Masih Minimnya Akses Buku Bacaan, Kolaborasi Seperti Apa yang Dibutuhkan untuk Meningkatkan Budaya Baca dan Literasi Masyarakat?

Semarang, Idola 92.6 FM – Rendahnya tingkat literasi memiliki dampak luas bagi kemajuan bangsa. Literasi rendah turut berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas bangsa. Ini berujung pada rendahnya pertumbuhan dan akhirnya berdampak terhadap rendahnya tingkat kesejahteraan yang ditandai oleh rendahnya pendapatan per kapita. Artinya, budaya literasi rendah juga berkontribusi secara signifikan terhadap kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan sosial ekonomi.

Literasi tidak semata persoalan kemelek aksaraan. Lebih dari sejatinya dengan tingkat literasi yang memadai, hal itu mampu memajukan spirit ilmu pengetahuan pada diri setiap orang dan menjadi daya dorong untuk menumbuhkan daya kreatif, daya tahan, dan daya saing suatu bangsa Indonesia. Bisa dikatakan, manusia yang literate adalah manusia yang mampu menentukan takdirnya sendiri dengan kecakapan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

Namun, kini kita patut prihatin. Di tengah kita menyongsong era Revolusi Industri 4.0 dan menyongsong Puncak Bonus Demografi 2020-2030, kita dihadapkan pada problem serius rendahnya budaya literasi. Merujuk pada sejumlah penelitian dan survei kelas dunia/ orang-orang Indonesia tak suka baca buku. Minat baca anak-anak bangsa ini terpuruk di level bawah. Apa itu kenyataan?.

Coba kita lihat data. Merujuk pada Detiknews (05/01/2019), data-data tentang literasi berikut ini sering diulang untuk menunjukkan parahnya minat baca. Pertama, hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2015. Kedua, peringkat literasi bertajuk ‘World’s Most Literate Nations’ yang diumumkan pada Maret 2016, produk dari Central Connecticut State University (CCSU).

Hasil Penelitian PISA 2015.

Penelitian PISA menunjukkan rendahnya tingkat literasi Indonesia dibanding negara-negara di dunia. Ini adalah hasil penelitian terhadap 72 negara. Indonesia berada pada ranking 62 dari 70 negara yang disurvei. Indonesia masih mengungguli Brazil namun berada di bawah Yordania. Lalu, bagaimana dengan ranking performa membaca orang Indonesia? Negeri ini ada di urutan ke-44 dengan skor 397, kalah satu poin dari Peru (398).

Meski demikian, Inisiator Pustaka Bergerak, Nirwan Ahmad Arsuka, terang-terangan tak setuju dengan cap bahwa anak-anak Indonesia adalah anak-anak yang malas membaca buku. Menurutnya, survei PISA dan CCSU menimbulkan kesimpulan yang salah tentang minat baca orang Indonesia. Padahal, minat baca dari masyarakat itu tinggi sekali. Anak-anak tidak membaca buku karena pelbagai factor salah satunya karena akses ke buku sulit.

Lantas, di tengah masih minimnya akses buku bacaan, kolaborasi seperti apa yang dibutuhkan untuk meningkatkan budaya baca dan literasi kita? Apa sesungguhnya faktor yang membuat tingkat budaya literasi kita masig rendah? Upaya apa yang perlu dilakukan pemerintah untuk mengakselerasi tingkat literasi kita?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI Prof Dadang Sunendar dan Inisiator Gerakan Pustaka Bergerak Nirwan Ahmad Arsuka. (Heri CS)

Berikut diskusinya: