Memahami Problem BUMN Kebanggaan Indonesia

Semarang, Idola 92.6 FM – Impian untuk memiliki BUMN yang berkelas dunia bukan sesuatu yang muluk-muluk bagi negeri ini. Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang melimpah dan merupakan pasar yang paling besar di Asia Tenggara. Maka, pada dasarnya kita sudah memiliki modal kuat untuk mewujudkannya.

Lantas, kenapa sulit sekali mencapainya? Merujuk beragam laporan di tahun 2017, terdapat deretan potret buram pengelolaan BUMN Indonesia. Sebanyak 23 BUMN merugi. Masalahnya macam-macam, antara lain tumpang tindih pengelolaan BUMN, pengembangan usaha tidak berkonsep, keluhan swasta atas ‘campur tangan’ BUMN, sampai dengan intervensi politik yang kental. Pada akhirnya, semua persoalan itu membuat pencapaian mimpi menjadikan Indonesia dengan BUMN berkelas dunia semakin sulit.

Baru-baru ini, di tengah masih hangatnya kasus korupsi yang membelit Dirut PLN Sofyan Basyir, publik juga dihebohkan dengan kejanggalan laporan keuangan salah satu BUMN kebanggaan kita yakni PT Garuda Indonesia. Terkuak, laporan keuangan Garuda Indonesia tahun 2018 sedang menjadi sorotan. Perolehan laba bersih perusahaan dianggap janggal. Pada tahun 2018 Garuda Indonesia mencatatkan laba bersih US$809,85 ribu atau setara Rp11,33 miliar. Laba itu berkat melambungnya pendapatan usaha lainnya yang totalnya mencapai US$306,88 juta.

Namun, kejanggalan muncul, ternyata ada dua komisaris yang enggan menandatangani laporan keuangan itu. Mereka merasa keberatan dengan pengakuan pendapatan atas transaksi Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Layanan Konektivitas Dalam Penerbangan, antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia. Pengakuan itu dianggap tidak sesuai dengan kaidah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) nomor 23.

Sebab manajemen Garuda Indonesia mengakui pendapatan dari Mahata sebesar US$239.940.000 yang diantaranya sebesar US$28.000.000 merupakan bagian dari bagi hasil yang didapat dari PT Sriwijaya Air. Padahal uang itu masih dalam bentuk piutang, namun diakui perusahaan masuk dalam pendapatan.

Tak sampai di situ, keanehan lain merebak. Atas fakta itu, pemegang saham terbesar yakni Pemerintah berpandangan sebaliknya. Mereka menyetujui laporan keuangan tersebut. Nah, atas sejumlah fenomena itu, kita semua tentunya bertanya-tanya, ada apa di balik semua ini?

Menurut Ekonom Indef Enny Sri Hartati, apa yang dilakukan Garuda Indonesia termasuk manipulasi penyajian laporan keuangan. Jika terungkap maka akan merusak citra perusahaan. Sebagai pemegang saham terbesar, sudah seharusnya pemerintah melakukan pengawasan melalui komisaris yang ditempatkan. Garuda Indonesia, menurut Enny, sebagai perusahaan yang tercatat di pasar modal seharusnya sadar untuk melakukan hal-hal yang terbuka. Konsekuensinya jika melakukan hal yang tidak transparan akan mengurangi kepercayaan publik.

Lantas, memahami problem yang ada di BUMN Kebanggaan Indonesia—fenomena apa sesungguhnya yang terjadi pada Garuda Indonesia? Bagaimana pengawasan kinerjanya sejauh ini? Ke depan, bagaimana mestinya pemerintah memperbaiki kondisi ini?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Enny Sri Hartati (Direktur Eksekutif INDEF) dan Muhammad Said Didu (pelaku dan pengamat BUMN). (Heri CS)

Berikut diskusinya: