Memahami Problematika Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris.

Semarang, Idola 92.6 FM – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tak berhenti menuai kontroversi. Beberapa waktu lalu, untuk menutup deficit, pemerintah memutuskan akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen untuk semua kelas—bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) atau peserta mandiri kelas III. Masyarakat pun bereaksi. Sebagian merasa keberatan dengan kebijakan itu.

Lalu, tak hanya masyarakat, Komisi IX dan XII DPR juga menolak rencana tersebut. Mereka lebih memilih untuk meminta pemerintah menyelesaikan permasalahan data Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau data cleansing agar defisit keuangan penyelenggara Program Jaminan Kesehatan tersebut bisa diatasi ketimbang menaikkan iuran.

Di tengah, dinamika tersebut, muncul kritikan yang ditujukan pada pemerintah dan BPJS Kesehatan. Hal itu picu direksi dan anggota dewan pengawas BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan yang justru mendapat bonus tambahan.

Di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112 Tahun 2019 tentang Manfaat Tambahan Lainnya dan Insentif bagi Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi BPJS, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambah tunjangan cuti tahunan bagi anggota dewan pengawas dan dewan direksi dengan nilai satu kali dan paling banyak dua kali dari nilai gaji dan upah.

Lantas, memahami problematika kenaikan iuran BPJS Kesehatan, bagaimana mestinya—apa solusinya? Di tengah defisit—seberapa urgensi pemberian bonus bagi jajaran direksi? Menyoroti persoalan ini, Radio Idola Semarang mewawancara anggota Ombudsman Republik Indonesia Dadan S. Suharmawijaya. (Heri CS)

Berikut wawancaranya: