Menakar Plus Minus Wacana Jabatan Presiden dan Kepala Daerah 8 tahun

Semarang, Idola 92.6 FM – Di tengah situasi menghangat antar partai “berebut” jatah kursi menteri dari presiden terpilih Jokowi, eks Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) AM Hendropriyono mengusulkan sebuah wacana yang memicu polemik.

Wacana yang diusulkan itu yakni agar masa jabatan seorang presiden dan kepala daerah dalam satu periode diubah dari lima menjadi delapan tahun. Usul itu disampaikan Hendro kepada awak media usai bertemu dengan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta baru-baru ini.

Hendropriyono.

Menurutnya, perubahan itu diikuti dengan perubahan peraturan yang hanya mengizinkan seseorang menjabat sebagai presiden atau kepala daerah selama satu periode saja. Dia menilai hal tersebut akan membuat pemerintah dan rakyat menjadi kuat. Presiden atau kepala daerah pun, lanjutnya, akan lebih fokus dalam bekerja karena tidak terganggu jadwal kampanye lantaran berkompetisi di pilpres dengan status calon petahana.

Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu mengaku usulan itu berangkat dari keprihatinannya melihat kondisi bangsa saat ini, terlebih ihwal biaya yang dihabiskan untuk pemilu yang kian lama kian bertambah. Menurutnya, total biaya yang dikeluarkan negara untuk menyelenggarakan Pemilu 2019 telah bertambah lebih dari Rp20 triliun dibandingkan Pemilu 2004.

Lantas, apa plus-minus wacana tersebut bagi demokrasi dan pemerintahan ke depan? Hendro beralasan, hal itu akan membuat pemerintah dan rakyat menjadi kuat. Presiden atau kepala daerah pun, akan lebih fokus dalam bekerja karena tidak terganggu jadwal kampanye lantaran berkompetisi di pilpres dengan status calon petahana. Cukup masuk akalkah alasan itu? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara Dosen Hukum Tata Negara, Peneliti Pemilu Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Feri Amsari, MH. (Heri CS)

Berikut wawancaranya: