Semarang, Idola 92.6 FM – Pemimpin Kesatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua/ULMWP) Benny Wenda Selasa kemarin mendeklarasikan terbentuknya pemerintahan sementara Republik Papua Barat. Dan menempatkan Benny Wenda sebagai presiden sementara Papua Barat.

Deklarasi itu bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang jatuh pada tanggal 1 Desember. Menurut Benny: Republik Papua Barat akan menjalankan konstitusi sendiri yang berbeda dari konstitusi NKRI.

Berdasarkan klaim ULMWP, langkah membentuk pemerintahan sementara, merupakan jawaban atas tuntutan rakyat Papua Barat yang ingin merdeka dan sejahtera. Akan tetapi klaim ini segera dibantah. Menurut Pemimpin Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (OPM TPNPB) Jefrey Bomanak, deklarasi yang dilakukan Benny Wenda tersebut dilakukan secara sepihak, tanpa melibatkan seluruh organisasi perjuangan kemerdekaan serta rakyat Papua Barat.

Benny Wenda yang kini berdomisili di Inggris Raya mengatakan bahwa pemerintahan sementara Papua Barat dibentuk dengan tujujan memobilisasi rakyat Papua Barat untuk mencapai referendum kemerdekaan.

Benny Wenda
Benny Wenda mendeklarasikan kemerdekaan Papua Barat pada 2 Desember 2020, sekaligus sebagai presiden sementara Papua Barat. (Photo: Twitter@BennyWenda)

Menanggapi deklarasi Republik Papua Barat Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodawardani mengatakan; klaim ULMWP tidak memenuhi kriteria pemerintahan yang sah menurut hukum internasional. Tindakan mereka pun dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Maka, apa pun kegiatannya dapat ditindak.

Dalam beberapa tahun terakhir, konflik Papua kerap mengemuka, bahkan cenderung semakin menguat. Padahal perlakuan negara terbilang “sangat lunak” dengan diberikannya Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang pada dasarnya memberikan kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagai referensi, kasus Papua tidak sama dengan referendum Timur Leste 20 tahun lalu. Timor Leste sejak awal memang sudah masuk dalam daftar Komisi Khusus Dekolonisasi PBB. Sementara Papua, berpijak pada Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 terkait “pengembalian” Papua dari Belanda ke Indonesia. Di mana aturan hukum Internasional yang tak tertulis menyatakan: bahwa batas-batas negara yang ditarik pada zaman kolonial, tidak bisa dilepas. Dan, aturan ini juga berlaku di seluruh dunia bukan hanya untuk Papua.

Lalu, bagaimana mestinya pemerintah merespons deklarasi Republik Papua Barat secara politik, keamanan, dan kesejahteraan? Seberapa jauh deklarasi ini akan menjadi efek bola salju dalam konteks politik-hukum internasional?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Dr FX Djoko Priyono SH, M.Hum (Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro Semarang); Ibnu Nugroho (Peneliti Gugus Tugas Papua UGM Yogyakarta); dan Benny Mamoto (Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Intan Jaya/ Ketua Harian Kompolnas). (andi odang/her)

Dengarkan podcast diskusinya: