Benarkah Demokrasi Kita Dikuasai oleh Para Cukong, Lalu, Apa yang Kita Pertukarkan?

Demokrasi Cukong (Ilustrasi)

Semarang, Idola 92.6 FM – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD baru-baru ini menyebut; hampir 92 persen calon kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia, dibiayai oleh cukong. Rata-rata, setelah terpilih, menurut Mahfud, para calon kepala daerah itu akan memberi timbal balik berupa kebijakan yang menguntungkan para cukong tersebut.

Mahfud mengungkap, sejak Pilkada langsung―yang sistem pemilihannya dilakukan oleh rakyat―para cukong banyak yang menabur benih kepada para kontestan Pilkada. Mahfud tak mengatakan, bahwa para calon yang dibiayai para cukong ini juga ada di Pilkada Serentak 2020. Dia hanya mengatakan, kerja sama antara calon kepala daerah dengan para cukong ini sudah pasti terjadi.

Menanggapi pernyataan Mahfud tersebut, kita patut merasa cemas. Mengingat, “There’s no free lunch” atau tidak ada makan siang yang gratis! Artinya, tidak mungkin para cukong itu hanya ingin memberikan biaya secara cuma-cuma, pasti ada kompensasi yang dituntutnya. Apalagi kalau kompensasi yang diminta berupa kebijakan, yang sudah pasti, berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Demokrasi Cukong (Ilustrasi)

Selain itu, kita juga cemas, karena artinya, sistem demokrasi yang kita harapkan dapat menghantar bangsa kita menuju keadilan dan kesejahteraan, terancam menjadi plutokrasi. Sebuah istilah yang berasal dari kata ploutos yang dalam Bahasa Yunani berarti kekayaan dan kratos yang berarti kekuasaan. Jadi, plutokrasi merupakan ‘sistem’ kekuasaan yang dikendalikan oleh segelintir orang kaya atau yang dalam istilah lain, disebut cukong.

Tetapi, benarkah demokrasi kita sedang menuju plutokrasi atau demokrasi yang dikuasai para cukong? Lalu, apa yang sedang kita pertukarkan dengan besarnya biaya yang dikeluarkan para Cukong itu? Serta, apa implikasinya bagi hajat hidup orang banyak dan demokrasi kita? Adakah jalan keluar yang tersedia, agar kita bisa lolos dari cengkeraman plutokrasi?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Bivitri Susanti (Ahli Hukum Tata Negara dan pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia); Kwik Kian Gie (Ekonom/ pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Ekonomi dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional & Ketua Bappenas); Wawan Sobari, Ph.D (Dosen Ilmu Politik dan Kebijakan Publik, Ketua Program Studi Magister Ilmu Sosial FISIP Universitas Brawijaya Malang); dan Ray Rangkuti (Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA)). (andi odang/her)

Berikut podcast wawancaranya: