Benarkah Peretasan dan Kriminalisasi Aktivis Ravio, Merupakan Ironi di Negeri Demokrasi?

Ravio Patra
Koalisi tolak kriminalisasi dan rekaya kasus (katrok) mendesak pemerintah untuk segera melepaskan Peneliti Kebijakan Publik dan Pegiat Advokasi Legislasi Ravio Patra. (ilustrasi: law-justice.co)

Semarang, Idola 92.6 FM – Penangkapan Ravio Patra pada Rabu malam, 22 April 2020, mendapat sorotan luas dari pengamat. Peneliti kebijakan publik itu disergap polisi dengan tuduhan memancing keonaran dan menebarkan kebencian, banyak dipertanyakan.

Bagi para aktivis HAM, sulit melepaskan tindakan penangkapan itu dari kritik yang sebelumnya dilancarkan Ravio kepada pemerintah. Ia menyoroti, antara lain, konflik kepentingan anggota staf khusus milenial Presiden.

Sehingga, aparat dianggap telah menyalahgunakan kewenangan. Sebab, belakangan, polisi mengumumkan bahwa Ravio ditangkap dalam status sebagai saksi, bukan tersangka. Padahal lazimnya, saksi hanya bisa dicokok setelah tiga kali tak mengindahkan panggilan pemeriksaan. Penangkapan itu semakin dirasa berlebihan―karena pada saat pemeriksaan―telepon seluler dan komputer jinjing milik Ravio juga disita.

Penangkapan itu juga diwarnai dugaan peretasan perangkat komunikasi Ravio. Sebelum ia ditangkap, akun WhatsApp-nya diambil alih pihak lain, yang kemudian mengirimkan ajakan menjarah. Pesan itulah yang dijadikan dasar tuduhan polisi bahwa Ravio menyebarkan keonaran.

Di sinilah para pegiat Hak Azasi Manusia menilai penangkapan itu menunjukkan wajah beringas penguasa. Mengingat, kebebasan berpendapat dijamin konstitusi. Kritik publik kepada pemerintah, mestinya dianggap sebagai vitamin dalam negara demokrasi.

Lantas, mencermati kasus peretasan dan kriminalisasi pada aktivis Ravio dan aksi aparat yang ditengarai cukup represif di tengah Pandemi Corona– benarkah ini menunjukkan ironi di negeri Demokrasi? Bagaimana mestinya aparat mendudukkan kritik publik?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan: Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Era Purnamasari dan Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti. (Heri CS)

Berikut podcast diskusinya: