Maklumat Kapolri dalam Perspektif Demokrasi

Maklumat Kapolri

Semarang, Idola 92.6 FM – Secara konstitusi, Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (Rechtsstaats), bukan negara kekuasaan (Machtsstaat), yang diatur oleh rule of law bukannya power state. Maka kekuasaan manapun harus berlandaskan konstitusi. Konstitusi itu sendiri diadakan supaya para penyelenggara negara mempunyai arah serta tujuan yang jelas dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

Sehingga, hukum lah yang menjadi dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya, dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Hukum kemudian menjadi urat nadi dalam segala aspek kehidupan. Hukum, konstitusi, dan demokrasi, merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Dari perspektif itulah, maka terbitnya “Maklumat Kapolri” baru-baru ini, telah menuai kritik dari sejumlah Organisasi Pers, Ormas Sipil, sampai partai politik yang menilai praktik-praktik tersebut menyerupai negara kekuasaan. Karena berpotensi mengekang kebebasan publik dan pers atas akses informasi.

Pada Pasal 2d Maklumat Kapolri itu, isinya: meminta masyarakat untuk tidak mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI, baik melalui website maupun media sosial.

Isi Maklumat Kapolri

Materi dalam Pasal 2d itulah yang dinilai dapat mengancam tugas utama jurnalis dan media yang dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kemerdekaan pers; untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi kepada publik termasuk soal FPI.

Maka tak heran kalau Komunitas Pers yang terdiri atas Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Forum Pemimpin Redaksi, dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mendesak Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis untuk mencabut Pasal 2d dari Maklumat Kapolri tersebut.

Lantas, menelaah Maklumat Kapolri dalam perspektif demokrasi—bagaimana mestinya kita mendudukkannya? Benarkah, maklumat tersebut mengancam praktik berdemokrasi di Indonesia? Lalu, jalan apa yang mesti kita tempuh untuk menangkalnya?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan: Wawan Sobari Ph.D, (dosen bidang politik kreatif, kaprodi magister ilmu sosial FISIP Universitas Brawijaya, Malang); Abdul Manan (Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia); dan Bivitri Susanti (Ahli Hukum Tata Negara/salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan). (andi odang/her)

Dengarkan podcast diskusinya: