Menakar Sensitivitas Media Pada Moralitas Publik

Media
image/istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Media massa merupakan salah satu layanan publik yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Media mempunyai fungsi antara lain: mengedukasi publik, menyajikan informasi, kontrol sosial, dan menghibur.

Namun, baru-baru ini, publik justru disuguhkan dengan siaran salah satu stasiun televisi swasta yang menayangkan penyambutan bebasnya Saipul Jamil—mantan narapidana kasus pelecehan seksual. Terkesan ia bak pahlawan yang berjasa sehingga perlu dirayakan kebebasannya. Tak cukup di situ, sesudahnya, TV swasta itu pun juga menayangkan wawancara eksklusif.

Di sini, kita memahami, hak individu memang tidak boleh dibatasi. Akan tetapi persoalannya, ada hak publik di balik sebuah program siaran. Sebab, frekuensi yang dipakai media televisi adala frekuensi milik publik. Sehingga, harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik termasuk kenyamanan masyarakat.

Sejumlah kalangan menilai, glorifikasi terhadap bebasnya Saipul Jamil di media tidak mendidik publik. Glorifikasi memiliki arti membesar-besarkan dengan mengulang dan membuat kesan merayakan. Selain itu, glorifikasi yang dilakukan media juga menyakiti hati korban–yang mungkin traumanya tidak akan hilang seumur hidup.

Saipul Jamil
Saipul Jamil bebas dari penjara. (photo/detik)

Atas fenomena ini, kalangan DPR pun menyesalkan TV yang melakukan glorifikasi tersebut. Saat ini pun, petisi untuk boikot Saipul Jamil di televisi juga sudah mendapat lebih dari 500 ribu tanda tangan. Publik pun mempertayangkan peran dan wewenang KPI yang salah satunya, mengawasi lembaga penyiaran agar tidak menyiarkan siaran yang memberi paparan negatif pada publik.

KPI pun bereaksi dengan meminta seluruh lembaga penyiaran televisi untuk tidak melakukan amplifikasi dan glorifikasi tentang pembebasan Saipul Jamil dalam isi siaran.

Lantas, menakar sensitivitas media pada moralitas publik, bagaimana mestinya mendudukan persoalan ini? Mestikah, demi kepentingan bisnis dan rating, lalu kepentingan publik diabaikan? Cukupkah KPI hanya meminta atau mengimbau—tanpa memberi sanksi bagi media televisi yang menayangkan paparan negatif?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Agus Sudibyo (Pengamat Media); Arist Merdeka Sirait (Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak); dan Dr Devie Rahmawati (Pengamat Sosial Universitas Indonesia (UI)). (her/ yes/ ao)

Dengarkan podcast diskusinya: