Semarang, Idola 92.6 FM – Pekan ini, Bumi merayakan hari pentingnya: Hari Hutan pada 21 Maret, Hari Air pada 22 Maret, dan Hari Meteorologi pada 23 Maret.

Namun, hari-hari untuk memperingati tiga elemen dasar ini meski dirayakan dengan keprihatinan, karena ulah manusia yang menyebabkan biosfer bumi semakin kehilangan daya dukung untuk kehidupan.

Demikian kegelisahan yang ditulis Ahmad Arif, jurnalis Kompas yang concern pada isu-isu krisis dan kebencanaan, di harian Kompas (24/03/21).

Ahmad Arif
Ahmad Arif. (photo: institute.kompas)

Arif menjelaskan, biosfer berasal dari bahasa Yunani, bios yang berarti kehidupan dan sphaira yang berarti lingkungan yang merupakan lapisan dengan ketebalan sekitar 20 kilometer di permukaan Bumi yang menjadi satu-satunya tempat di mana kita mengetahui adanya kehidupan.

Masih menurut Arif, dimulai sekitar dua abad lalu, biosfer di planet kita mengalami tekanan hebat. Tanah ditambang, hutan dibabat, air diracuni, dan udara dicemari berbagai emisi gas buangan.

Pemanasan global semakin melaju dengan membawa berbagai konsekuensi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Lapisan es di kutub dan gletser mencair cepat, menyebabkan kenaikan muka air laut, mengubah hidrologi, dan juga meteorology. Cuaca ekstrem menguat dan bencana semakin mematikan.

Kombinasi perubahan iklim dan degradasi lingkungan telah menyebabkan daya dukung biosfer untuk menyangga kehidupan terus berkurang. Manusia telah mendesak spesies lain ke tubir kepunahan.

Arif menyitir pandangan Carl Folke, ilmuwan dari Royal Swedish Academy of Sciences, Stockholm, dalam artikel di jurnal Ambio 14 Maret lalu. Carl menulis, kehancuran biosfer bukan hanya mengancam kehidupan di Bumi, tapi juga terhadap seluruh sistem planet ini.

Biosfer
ilustrasi/contendresolar.com

Pandemi Covid-19 telah mengekspos dunia global yang saling berhubungan dan terkait erat. Keterkaitan yang bisa jadi kekuatan bersama untuk melewati krisis atau sebaliknya hancur bersama secara simultan.

Menurut Arif, kini, kita berada di persimpangan jalan, apakah akan kembali pada pola hidup sebelum pandemi yang eksploitatif dan egois atau menjadikan momen ini sebagai pembuka kesadaran bersama untuk lebih hormat kepada Ibu Bumi, satu-satunya rumah kita.

Maka, merefleksi kondisi bumi kita saat ini, seberapa jauh kesadaran masyarakat, atas isu lingkungan? Bagaimana mendorong literasi dan kesadaran masyarakat pada isu tersebut? Dan, siapa saja yang mesti melakukannya?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Ahmad Arif (Wartawan Kompas) dan Firdaus Ali (Pendiri Institute Water Indonesia (IWI)/ dosen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia). (her/ andi odang)

Dengarkan podcast diskusinya: