Mestikah Pandemi Menjadi Alasan Rendahnya Kinerja Dewan?

Gedung DPR RI
photo/istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Bersama pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dimandatkan untuk mengawasi dan memastikan kinerja eksekutif sepenuhnya berfokus pada penanganan krisis yang terjadi akibat pandemi Covid-19. Namun, dibandingkan sorotan besar terhadap peran eksekutif, peran DPR masih luput dari kinerja memuaskan.

Di tengah harapan publik agar mereka mengawal upaya penanggulangan Pandemi, wakil rakyat kita yang terhormat justru tenggelam dalam ingar bingar pemberitaan Covid-19. Kalaupun sesekali muncul justru menuai kontroversi—mulai dari rencana penyediaan fasilitas isoman di hotel bintang tiga hingga fasilitas vaksinasi khusus bagi anggota dewan dan keluarganya.

Kinerja DPR periode 2019-2024 pun menuai kritik tajam dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) khususnya dalam pelaksanaan fungsi legislasi. Sebab, DPR sementara ini, baru berhasil menuntaskan sebanyak empat dari 248 RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024.

Lantas, kalau baliho politik itu ujungnya adalah awareness yang paling rendah. Artinya, masyarakat jadi “kenal” wajahnya; sementara kerja sosial, termasuk kepedulian adalah daya tarik yang mampu menarik orang pada level awareness yang lebih tinggi, yaitu recognition atau pengakuan.

Lalu, kenapa anggota DPR lebih condong ke agenda politik sejauh ini… padahal, ada sumber ladang mendulang simpati rakyat yakni Pandemi. Mestikah Pandemi menjadi alasan rendahnya kinerja Dewan? Tetapi, di sisi lain, kenapa sebagian anggota Dewan justru lebih sibuk memoles citra untuk meningkatkan popularitas menuju Pilpres yang masih 3 tahun lagi?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, kami nanti akan berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Abdul Fikri Faqih (Wakil Ketua Komisi X DPR RI/ anggota DPR dua periode 2014-2019 dan 2019-2024)); Hendri Satrio (Pengamat Komunikasi Politik/ Pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI); dan Rizky Argama (Ahli Hukum Tata Negara dan peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia). (her/ yes/ ao)

Dengarkan podcast diskusinya: