Ada “Sang Bandar” di Balik Kontestasi Kandidat Capres/Cawapres dalam Pilpres, Benarkah Spekulasi Tersebut?

Koalisi NasDem, Demokrat dan PKS retak.
Koalisi NasDem, Demokrat dan PKS retak. (Ilustrasi/Istimewa)

Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam proses pencalonan dalam Pilpres tidak semua parpol bisa mengusung capres/cawapresnya. Hanya mereka yang memiliki “tiket” yang bisa mengusung capres masing-masing. Tiket itu adalah presidential threshold atau ambang batas Presiden sebesar 20 persen.

Dalam dinamika politik, hanya partai besar atau gabungan partai besar saja yang bisa memiliki tiket tersebut. Dan, tentu saja didukung modal yang besar. Untuk memenuhi itu, di balik tabir gelap, muncullah sosok-sosok yang disebut-sebut sebagai “sang bandar” atau “pemodal besar” di baliknya yang memiliki kepentingan. Konon, tanpa dukungan sang bandar atau pemodal besar itu, akan sulit menentukan kandidat capres/cawapres dalam Pilpres.

Baru-baru ini, isu soal keberadaan sang bandar itu mengemuka pasca batalnya deklarasi koalisi NasDem, Demokrat dan PKS. Salah satu politisi, Fahri Hamzah menyebut, koalisi perubahan gagal karena bandar belum deal.

Menurut Fahri, untuk memenuhi Presidential Threshold 20 persen, partai bisa bergabung untuk membangun koalisi. Namun, keputusan itu tergantung dengan sosok sang bandar.

Lalu, benarkah spekulasi tersebut—yang menyebut bahwa bahwa kontestasi kandidat Capres-Cawapres dalam Pilpres tak akan terwujud tanpa keberadaan “Sang Bandar” atau “Pemodal Besar” di belakangnya? Lalu, masih amankah ‘benefit’ yang kita berikan sebagai imbalan kepada sang bandar?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Titi Anggraini (Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Arsul Sani (Wakil Ketua Umum DPP PPP), dan Prof Siti Zuhro (Peneliti Utama dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: