Semarang, Idola 92.6 FM – Pierre Bordieu dalam bukunya Homo Academicus (1988) berpendapat bahwa manusia pada masa kini tidak hanya melakukan kegiatan investasi saham dalam bentuk material, tetapi jugaย symbolic capital. Ini adalah jenis kapital yang terdiri dari simbol-simbol yang sarat makna dan kepentingan salah satunya adalah pendidikan.
Lembaga sekolah menjadi medium yangย โempukโย untuk mendongkrak status sosial. Dengan bersekolah, maka harapan untuk mengubah nasib dapat terwujud.
Pergeseran tujuan pendidikan dan kepentingan keilmuan pengetahuan menjadi hanya sebatas untuk mendapatkan gelar akademik adalah penyakit sosial. Masyarakat yang terhinggapi penyakit ini berorientasi mendapatkan gelar yang prestisius sebagai modal simbolik untuk menaikkan gengsi, meraih jabatan atau merengkuh kekuasaan.
Orientasi ini begitu bertentangan dari tujuan pendidikan. Mereka adalah masyarakat kredensial. Gejala yang dialami oleh negara-negara berkembang di dunia ini adalah jalan kredensialisme. Patologi sosial yang menjadikan legalitas dan formalitas sebagai sebuah supremasi tertinggi dalam kehidupan.
Generasi kredensial ini lebih mementingkan apa yang dicapai, bukan proses dan apa yang harus dilakukan guna mencapai tujuan itu. Pola pikirnya cenderung instan, shorcut, dan tergesa-gesa. Kredensialisme melahirkan budayaย glamourย yang palsu โฆ dan mampu membunuh kesejatian kebudayaan, dan bahkan manusia itu sendiri.
Lalu, apa baik-buruknya Kredensialisme? Apa akar, dan dampaknya? Serta bagaimana jalan keluarnya?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Dr. Fariz Alnizar (Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta/ Post-Doctoral Fellow di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta), Prof. Iwan Pranotoย (Guru Besar Institut Teknologi Bandung), dan Fahmi Ahmadi,M.Siย (Sosiolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).ย (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: