Bagaimana Menjaga Marwah Perguruan Tinggi?

Graduated
Ilustrasi/ISTIMEWA

Semarang, Idola 92.6 FM – Suatu kali Nassim Nicholas Taleb mengatakan, “Modernity: we created youth without heroism, age without wisdom, and life without grandeur,”

(Dalam modernitas: kita menciptakan pemuda tanpa kepahlawanan, zaman tanpa kebijaksanaan, dan kehidupan tanpa keagungan.)

Tentu saja kita berharap, sinyalemen Nassim itu salah dan tidak akan benar-benar terjadi. Akan tetapi, ketika kita melihat kecenderungan Kampus dalam memberikan gelar kepada yang kurang kompeten dan sebaliknya, membuat orang-orang yang bersungguh-sungguh justru sulit memperoleh gelar. Kita jadi khawatir dunia pendidikan kita sedang tersapu oleh modernitas.

Kita melihat dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena sejumlah kampus seolah “mengobral” gelar doktor kehormatan kepada para politikus dan pejabat. Di sisi lain, ada orang yang sebenarnya memiliki kapasitas namun justru terhambat.

Seperti yang dialami Dosen Departemen Matematika Fakultas MIPA Universitas Indonesia (UI), Dr Sri Mardiyati. Nama Sri sudah diusulkan menjadi profesor oleh Dekan Fakultas MIPA pada 14 Mei 2019 lalu. Disusul pengesahan hasil validasi oleh Rektor UI pada Oktober 2019 dan diteruskan ke Kemendikbud. Sri kaget saat mendapat Nota Dinas dari Direktur SDM UI yang menyebutkan berdasarkan hasil keputusan rapat panitia penilai pusat, usulan Sri menjadi Guru Besar belum dapat dipertimbangkan. Salah satu alasannya karena salah satu karya ilmiah Sri tidak memenuhi syarat. Ia pun kemudian menggugat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menuding ada “kartel gelar profesor” di Kemendikbudristek sehingga peraturan yang ‘menjegalnya’ harus dihapuskan. Saat berita ini ditulis, proses persidangan di MK masih berlangsung.

Lalu, apa yang sesungguhnya sedang terjadi? Bagaimana menjaga marwah Perguruan Tinggi?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Prof Cecep Darmawan (Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, sekaligus pengamat kebijakan pendidikan); Dr. Dhia Al Uyun (Ketua Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)/ dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang); dan Prof Arief Ansori Yusuf (Ketua Dewan Guru Besar Indonesia/ dosen di Universitas Padjajaran Bandung). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: