Bagaimana Merekonsiliasi Kerukunan yang Terkoyak oleh Polarisasi Pilihan Politik?

Pengeroyokan
ilustrasi/ISTIMEWA

Semarang, Idola 92.6 FM – Aksi unjuk rasa yang menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden 11 April lalu, dinodai tindakan brutal sekelompok orang terhadap dosen UI yang juga pegiat media sosial-Ade Armando.

Kejadian pemukulan dan pengeroyokan terhadap Ade Armando begitu menyita perhatian publik. Aksi pengeroyokan itu dilakukan pada bulan Ramadhan pada orang yang sedang berpuasa.

Yang makin membuat miris, banyak warganet yang membenarkan aksi itu. Bahkan, menjadikan aksi yang tidak berperikemanusiaan itu sebagai lelucon. Sejumlah kalangan pun mengutuk aksi jalanan tersebut. Sebab, atas nama apapun atau alasan apapun, kekerasan tak bisa ditolerir.

Kasus kekerasan dan pengeroyokan yang dialami Ade Armando merupakan ‘bukti’ perpecahan yang “mengutub” (yang disebut dengan polarisasi). Bisa jadi, ini merupakan puncak gunung es bahwa kerukunan bangsa sudah terkoyak oleh orientasi dan preferensi politik, sehingga memunculkan sebutan “kadrun” dan “cebong.”

Maka, kalau itulah yang sedang terjadi, dapatkah keterbelahan dan kebencian antar warga bangsa itu tetap dibiarkan? Lalu apa dan siapa yang mesti bersama-sama merekonsiliasi kerukunan?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Fahmi Muhammad Ahmadi (Sosiolog dari UIN Syarif Hidayatullah) dan Letjen (Purn) Kiki Syahnakri (Purnawirawan TNI AD). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: