Memahami Kebijakan Pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat, Apa Goals yang Hendak Dicapai?

Blocked
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika mewajibkan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk mendaftarkan diri di Indonesia. Jika tidak mendaftar,  ada ancaman sanksi administrasi hingga pemblokiran untuk platform seperti WhatsApp, Facebook, Google, dan lain sebagainya.

Kewajiban pendaftaran tersebut tertuang dalam Peraturan Kementerian Komunikasi Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Permen Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang PSE Lingkup Privat. Namun hingga Selasa (19/07) lalu, sejumlah PSE besar seperti WhatsApp, Instagram, Google masih belum mendaftarkan diri. Padahal deadline pendaftaran adalah 20 Juli 2022.

Atas kebijakan ini, sejumlah pihak pun bereaksi. Mereka menilai, kebijakan ini sebagai bentuk pelanggaran privasi perusahaan dan mengancam privasi pengguna. Salah satu lembaga yang protes adalah lembaga Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). Bahkan, mereka membuat Petisi penolakan aturan PSE yang hingga kemarin sudah ditandatangani lebih dari 4.700 orang sejak diluncurkan dua hari lalu.

Dari aturan soal PSE ini, SAFENet menemukan setidaknya tujuh pasal bermasalah bila dilihat dari perspektif hukum dan prinsip Hak Asasi ManusialMereka menilai ada beberapa potensi kerugian yang akan dihadapi masyarakat. Salah satunya soal “pelanggaran hak atas informasi karena akan banyak PSE yang diblokir jika tidak mematuhi aturan itu, padahal banyak orang yang mencari nafkah, serta belajar dari berbagai macam PSE.

Jadi, apakah Kebijakan Pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat, ini dimaksudkan sebagai aturan main yang memberikan kepastian PSE; atau justru pembatasan yang malah akan mendorong pihak PSE untuk melanggar privasi? Lalu, apa sesungguhnya goals yang ingin dicapai? Di pihak lain, apa yang ditakutkan oleh PSE? Seberapa mungkin pemerintah untuk mengeliminasi kekawatiran PSE?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Heru Sutadi (Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute), Syafuan Rozi (Pengamat Kebijakan Publik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)), dan Nenden Sekar Arum  (Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Artikel sebelumnyaSemarang Ditunjuk Tuan Rumah Kejurnas Atletik 2022
Artikel selanjutnyaManulife Indonesia dan Bank DBS Indonesia Hadirkan MiTreasure Whole Life Legacy