Mungkinkah Kita Mengonversi Ciri Ramahtamah Bangsa Kita di Jalanan?

Marah saat berkendara
ilustrasi/istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Ketersinggungan berbalut arogansi di jalan raya atau di ruang publik seperti tren yang tak pernah surut. Gesekan kecil di jalanan, bisa berujung adu mulut hingga adu jotos dan penganiayaan.

Saling serobot, tak terima disalip, atau tersinggung karena hal-hal remeh menjadi tren yang tak pernah surut intensitasnya. Belakangan, publik disodori ‘arogansi’ segelintir orang yang mengumbar emosi dan dengan mudahnya menganiaya orang lain hanya karena ketersinggungan di jalanan.

Baru-baru ini, video berdurasi 36 detik yang mempertontonkan seorang pria menghajar seorang pemuda menjadi viral. Kemudian, diketahui bahwa pemukulan terjadi di pinggir Jalan Tol Gatot Subroto Jakarta Selatan. Korban merupakan Justin Frederick yang juga putra politisi PDI Perjuangan Indah Kurnia. Sementara, pelaku yang mengendarai mobil berplat RFH adalah Faisal Marasabessy, seorang pemuda 22 tahun, anak Ketua Ormas Bravo 5 Ali Fanser Marasabessy.

Perkembangan terkini, Faisal telah ditetapkan menjadi tersangka penganiayaan. Menurut keterangan polisi, cekcok yang berujung penganiayaan itu dipicu serempetan antara mobil pelaku dan korban, saat mobil pelaku pindah lajur.

Singkatnya, predikat bangsa Indonesia yang dikenal ramah-tamah, seakan tak mewujud di jalan raya; karena dari beberapa fenomena yang ada, jalanan kita seakan menjadi etalase keberingasan dan sikap mau menang sendiri. Apa akarnya? Mungkinkah kita mengonversi keramah tamahan yang menjadi ciri bangsa kita di jalanan? Atau memang sejatinya kita adalah bangsa yang pemarah?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Dr. Zuly Qodir (Sosiolog Universitas Muhammadiyah Yogyakarta),  Dr. Saifur Rohman (Ahli filsafat dan Budayawan dari Universitas Negeri Jakarta), dan Darmaningtyas (Pengamat Pendidikan/ Pengurus Persatuan Keluarga Besar Taman Siswa). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: