Bagaimana Peran Masyarakat Sipil dalam Mengisi Kekosongan Narasi Kepublikan Ketika Politik Menjadi Begitu Pragmatis?

Logo Idola

Semarang, Idola 92.6 FM – Setelah 78 tahun merdeka, janji untuk mencerdaskan kehidupan bangsa masih belum bisa dilunasi. Kecerdasan bangsa Indonesia kini justru tertinggal dari negara tetangga. Rata-rata IQ warga Indonesia sesuai riset World Population Review, sebesar 78,49.

Indonesia berada di posisi ke-130 di dunia atau terendah kedua di Asia Tenggara. Kecerdasan yang rendah, berkorelasi dengan banyaknya penduduk yang hidup dalam kemiskinan multidimensi. Hal itu dikemukakan oleh Sukidi dalam artikel “Menagih Janji Kemerdekaan” (Kompas, 24/08/2023) lalu.

Dilansir dari Kompas (14/09), rendahnya kualitas kecerdasan itu mungkin ikut mendistorsi kemampuan berpikir dalam penentuan kebijakan, strategi, dan manajemen yang baik yang diperparah dengan mentalitas korupsi yang merajalela di mana-mana. Meskipun anggaran pendidikan sudah mencapai 20 persen dari APBN tetapi hal itu belum dapat meningkatkan mutu pendidikan. Sehingga, perlu ikhtiar memperbaiki pendidikan nasional secara komprehensif.

Dalam “Politik Wira-wiri”, istilah halus dari “Politik Kutu Loncat”, Budiman Tanuredjo mengemukakan pentingnya peran masyarakat sipil dalam menghadapi berbagai masalah bangsa. Ketika politik menjadi begitu pragmatis dan transaksional, maka rakyat pemilik kedaulatan dipinggirkan. Politik wira-wiri (lompat partai, pindah-pindah koalisi) belum menjawab problem kemasyarakatan; politik wira-wiri tidak bisa menggugah elite untuk menyelesaikan masalah kemasyarakatan dan kebangsaan.

Oleh karenanya, masyarakat sipil perlu mengisi kekosongan narasi kepublikan, menyusun peta jalan bersama, merumuskan tantangan bangsa, dan meminta parpol atau capres untuk menjawab agenda yang dibayangkan masyarakat sipil.

Lantas, bagaimana cara masyarakat sipil dalam “menagih” dan meminta parpol atau kandidat capres untuk menjawab agenda yang dibayangkan masyarakat sipil?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Kunto Adi Wibowo, PhD, (Peneliti di lembaga survei Kedai Kopi/Dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung), Prof Cecep Darmawan (Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, sekaligus pengamat kebijakan pendidikan), dan Ubedilah Badrun, MSi (Pengamat politik/ Anggota Presidium Aliansi Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ)). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Artikel sebelumnyaMengenal Wijaya Bodro Wardani, Pegiat Sanitasi Aman untuk Warga dari Kota Magelang
Artikel selanjutnyaGunakan Pupuk Organik, Petani Bawang di Brebes Kini Menuai Untung