Benarkah Gugatan Uji Materi PSI di MK tentang Syarat Minimal Usia Capres-Cawapres Salah Alamat?

MK
Photo/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengajukan gugatan terkait UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Poin gugatannya terkait batas usia minimal capres dan cawapres.

Ketentuan yang digugat oleh PSI itu ialah Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang berbunyi: “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”. Para Pemohon menyatakan, batas minimal syarat umur untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden pada norma tersebut dinyatakan jelas yakni 40 tahun. Sementara para Pemohon saat ini berusia sekitar 35 tahun.

Mereka berharap bahwa setidaknya batas usia minimal usia calon presiden dan wakil presiden dapat diatur menjadi 35 tahun. Asumsinya pemimpin-pemimpin muda tersebut telah memiliki bekal pengalaman untuk maju sebagai calon presiden dan wakil presiden. Sehingga norma soal batas minimal usia 40 tahun dianggap bertentangan dengan moralitas dan rasionalitas karena menimbulkan bibit-bibit diskriminasi sebagaimana termuat dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

Merespons gugatan PSI tersebut, Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM-Denny Indrayana menilai, gugatan uji materil PSI di MK soal syarat minimal usia calon presiden-calon wakil presiden yang diatur di UU Pemilu harus dilawan. Menurutnya, gugatan itu sangat salah secara konstitusi.

Lalu, benarkah gugatan uji materi PSI di MK soal syarat minimal usia Capres-Cawapres salah alamat karena soal umur adalah open legal policy yang menjadi kewenangan pembuat undang-undang (parlemen), bukan kewenangan MK untuk menentukan batas umur capres-cawapres melalui proses ajudikasi (peradilan)? Maka, akankah MK mengabulkan? Serta apa sesungguhnya alasan prinsipil di balik pembatasan umur capres-cawapres? Apa baik buruknya kalau batasan umur itu diturunkan menjadi 35 tahun misalnya?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Dr Aan Eko Widiarto (Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Malang), Luthfi Makhasin,Ph.D (Pengamat Politik/Dosen FISIP Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto), dan Grace Natalie (Wakil Ketua Dewan Pembina PSI). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: