Dugaan kebocoran putusan MK, Pemilu Sistem Proporsional Tertutup: Apa Implikasinya?

Ilustrasi
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Jelang Pemilu 2024, berbagai polemik seputar aturan kepemiluan kerap kali muncul ke permukaan dan mendapat sorotan publik. Setelah wacana tiga periode jabatan Presiden hingga seputar keterwakilan Perempuan, kini wacana pemberlakuan kembali “sistem proporsional tertutup” atau Pemilu coblos Partai kembali menyeruak.

Hal itu terungkap, pasca Pakar Hukum Denny Indrayana mengklaim mendapatkan “Informasi A1” bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup.

Sebagai gambaran: Dalam “Proporsional Terbuka,” Partai Politik mengajukan daftar calon tanpa nomor di depan nama, dan para Pemilih tinggal memilih salah satu nama calon; Sedangkan dalam “Proporsional Tertutup,” Partai politik mengajukan daftar calon yang disusun berdasarkan nomor urut, lalu para Pemilih memilih gambar partai politik, bukan nama orang.

Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu mengatakan bahwa dia mendapatkan informasi adanya 6 Hakim MK yang menyetujui kembali sistem proporsional tertutup, sementara, 3 lainnya menyatakan berbeda pendapat alias dissenting opinion. Denny enggan menyebutkan dari mana ia mendapatkan informasi itu. Namun, dia mengatakan sangat mempercayai sumbernya tersebut.

Atas polemik ini, Menko Polhukam Mahfud MD meminta MK mengusut dugaan bocornya putusan MK tersebut. Menurut Mahfud, informasi yang disampaikan Denny itu akan terbukti benar atau tidaknya seiring perjalanan waktu. Namun, a menegaskan bahwa putusan MK tidak boleh dibocorkan sebelum diketok palu.

Lalu, menyoroti dugaan kebocoran putusan MK, kalau memang itu ternyata benar, bukankah ini berarti kemunduran deokrasi setelah 4 kali Pemilu kita menggunakan sistem proporsional terbuka? Bukankah, sistem “Proporsional Tertutup” semakin berpotensi membuat Parpol semakin ‘berkuasa’ dan membuat DPR sekadar menjadi Perwakilan Partai Politik yang semakin membuat demokrasi kita sekadar demokrasi prosedural?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Hidayat Nur Wahid (Wakil Ketua Majelis Syura PKS) dan Luthfi Makhasin,Ph.D (Pengamat Politik/Dosen FISIP Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: