Memahami Duduk Masalah Sistem “Proporsional Tertutup” dalam Pemilu: Apa Untung-Ruginya, Baik bagi Parpol maupun Pemilih?

KPU
Photo/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam beberapa waktu belakangan, wacana menghidupkan kembali sistem pemilu “Proporsional Tertutup” atau ‘coblos partai’ mengemuka. Hal ini berangkat dari pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari yang menyebut bahwa terbuka peluang menggunakan sistem proporsional tertutup di Pemilu 2024 pasca ada gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).

Hasyim mengatakan, MK bisa saja memutuskan Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup sebab pada Pemilu 2009 lalu sistem proporsional terbuka diberlakukan, karena putusan lembaga tersebut.

Pernyataan itu pun menuai berbagai kritik dan penolakan dari berbagai pihak. Bukan hanya dari sejumlah kelompok masyarakat, penolakan juga datang dari mayoritas partai politik yang punya wakil di parlemen.

Delapan parpol di DPR menolak penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024. Mereka adalah: Fraksi Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, PKB, Partai Demokrat, PKS, PAN, dan PPP. Hanya Fraksi PDI Perjuangan yang setuju dengan penerapan kembali sistem proporsional tertutup atau pemilih hanya mencoblos gambar partai di Pemilu. Sementara, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih bisa langsung memilih nama calon anggota legislatif atau partai.

Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurto Yudhoyono menilai, penerapan kembali sistem proporsional tertutup bisa memundurkan kualitas demokrasi, mengembalikan model kekuasaan sentralistik, dan menafikan kerja keras kader partai dalam membina konstituennya.

Sementara itu, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristianto mengungkapkan, partainya mendorong sistem proporsional tertutup karena peserta Pemilu adalah Parpol. Sistem tertutup juga lebih tepat di tengah ketidakpastian global. Sebab, sistem itu bisa menyederhanakan proses dan menghemat biaya penyelenggaraan Pemilu.

Lantas, memahami duduk masalah yang sesungguhnya; apa sih yang dimaksud dengan “Proporsional Tertutup?” Apa untung dan ruginya, baik bagi parpol maupun masyarakat pemilih? Kenapa wacana ini kembali mengemuka, siapa/pihak mana yang memasukkannya? Dan apa kepentingannya? Kenapa soal PAW yang membuat anggota DPR menjadi wakil parpol, bukan wakil rakyat, malah sama sekali tidak diwacanakan?  Sesungguhnya, pemilu ini diselenggarakan untuk kepentingan partai peserta pemilu, atau untuk rakyat?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Prof Firman Noor (Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)), Luthfi Makhasin, Ph.D (Pengamat Politik/Dosen FISIP Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto), dan Mardani Ali Sera (Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS)). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: