Mengkaji Terobosan Baru Mendikbudristek yang Tidak Mewajibkan Membuat Skripsi untuk S-1 dan Tak Wajib Masuk Jurnal untuk S-2 dan S-3: Apa Plus-Minusnya?

Ilustrasi
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim membuat terobosan baru setelah menghapus Ujian Nasional pada masa jabatannya. Kini, terobosan itu menyasar mahasiswa S-1, S-2, dan S-3.

Nadiem berencana tidak mewajibkan Skripsi sebagai syarat lulus bagi mahasiswa S-1/D4. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Nantinya, sebagai pengganti tugas akhir, mahasiswa bisa melakukan banyak cara. Antara lain bisa dalam bentuk membuat proyek dan sebagainya.

Namun, kebijakan ini menurut Nadiem, disesuaikan bagi perguruan tinggi masing-masing. Setiap kepala prodi punya kemerdekaan dalam menentukan standar capaian kelulusan mahasiswa mereka. Untuk itu, standar terkait capaian lulusan ini tidak dijabarkan secara terperinci lagi di Standar Nasional Pendidikan tinggi.

Lalu, kenapa dulu skripsi dijadikan syarat kelulusan? Apakah, kini tujuan itui sudah terpenuhi oleh tugas-tugas lain? Tidakkah salah satu tujuan skripsi adalah untuk membudayakan ‘sistem berpikir’ para sarjana yang mesti bisa berhipotesa, memverfikasi, dan mengartikulasikannya secara runtut dalam bahasa tertulis?? Lalu, apakah dengan tidak diharuskannya mereka membuat skripsi, tidak membuat mutu lulusan sarjana tidak kian merosot? Kegiatan pengganti apa yang mampu menambal kebutuhan ini?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Wakil Ketua Umum Vox Populi Institute Indonesia Indra Charismiadji dan Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (periode 2018-2022) Johanes Eka Priyatma, Ph.D. (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: