Menyoroti Karikatur Satire Soal Keadilan Yang Harus Dibeli: Akankah Keadaan Ini Kita Biarkan terus berlangsung?

Keadilan Harus Dibeli
ilustrasi/twitter@mohmahfudmd

Semarang, Idola 92.6 FM – Keadilan milik semua manusia. Tidak peduli kaya dan miskin. Tidak peduli apapun strata sosialnya. Tidak peduli apapun jabatannya. Tidak peduli siapapun orang tuanya.

Itulah makna dari prinsip dasar: persamaan di hadapan hukum, equality before the law. Persamaan, tanpa perbedaan hukum, bagi setiap manusia.

Namun itu adalah teori, bukan praktik. Dalam praktik, dalam kenyataannya, teori seringkali tidak terwujud. Maka, muncullah ungkapan standar, penegakan hukum yang ibarat sebilah pisau, “tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Keadilan hanya milik orang kaya, bukan orang miskin.

Maka, ibarat pelayanan kesehatan yang sering menghadirkan sindiran, “Orang miskin tidak boleh sakit”. Maka, dalam hal penegakan hukum/ muncul pula kesinisan, “Orang miskin tidak boleh benar” karena dalam faktanya, hukum sejak semula selalu mengandung potensi untuk cenderung memberikan keuntungan kepada mereka dari golongan yang lebih mampu secara financial. Sementara hukum itu tidak adil terutama bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.

Persoalan ini kembali menyeruak setelah Menko Polhukkam Mahfud MD mengunggah Karikatur bernada satire yang menggambarkan seseorang yang meminta keadilan namun justru dimarahi karena harus membelinya. Atas unggahan tersebut Mahfud pun menuai kritik karena terkesan menertawakan keadaan yang mestinya membuat kita prihatin dan sedih.

Dalam karikatur tersebut, terlihat dua sosok yang sedang berbicara. Satu karakter menggambarkan seseorang dengan tubuh kecil berbicara dan meminta keadilan. “Mau minta keadilan, pak”. Namun, tokoh kedua yang digambarkan dengan lebih besar menjawab bahwa keadilan tidak bisa diminta begitu saja. Dia menyebut keadilan harus dibeli. “Minta…minta, beli..!” bunyi tulisan dalam karikatur tersebut.

Lalu, akankah keadaan ini kita biarkan terus berlangsung? Kalau tidak, apa langkah yang mesti ditempuh? Dan, dimulai dari mana?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan sejumlah narasumber, antara lain: Prof Esmi Warassih Pudjirahayu (Pakar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro Semarang), Arsul Sani (Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP (PPP)), dan Boyamin Saiman (Pengamat dan Praktisi Hukum). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: