Jadi Generasi Keempat Perajin Batik Lasem, Begini Cara Agar Tetap Diterima Pasar

Dua model saat memilah batik
Dua model saat memilah batik khas Lasem yang terus mendunia.

Rembang, Idola 92,6 FM-Menjadi keturunan perajin batik Lasem, ada banyak tantangan yang harus dihadapi dalam upaya memertahankan kelestarian budaya peninggalan nenek moyang.

Hal itu yang dialami Filemon Hermawan Sulistyo, seorang keturunan perajin batik Lasem generasi keempat di keluarganya.

Pria yang tinggal di Jatirogo Lasem itu bilang, dirinya sampai dengan saat ini masih menyimpan batik lawasan Lasem yang diproduksi pada awal tahun 70-an.

Filemon menjelaskan, batik Lasem memiliki beberapa ciri khas motif yang unik di antaranya Sekar Jagad dan Tiga Negeri dan Gringsing.

Motif lainnya adalah batu pecah yang menggambarkan proses pembangunan jalan raya, dari Anyer sampai Panarukan.

Menurutnya, pewarnaan untuk batik Lasem menggunakan pewarna alam maupun sintetis.

Pewarna alam menggunakan tumbuh-tumbuhan dan batang pohon.

Filemon mengaku sebagai generasi keempat dari perajin batik Lasem, mengaku meneruskan usaha dari nenek moyangnya terdahulu.

Menjadi generasi keempat dari perajin batik Lasem, dirinya harus memutar otak dalam mendesain motif agar tetap diterima di era modern khususnya kalangan muda milenial atau generasi Z.

Tujuannya, agar desain batik Lasem mampu mengikuti tren saat ini.

“Sekarang batik Lasem merambah ke era modern, yaitu dengan warna-warna yang lebih cerah tapi tanpa meninggalkan pakemnya. Paling khas batik Lasem itu warna merahnya karena disebut merah getih pitik atau warna merah darah ayam. Terus juga warna biru berlian. Warna merah batik Lasem itu berbeda jika diproduksi daerah lain, dan warna birunya yang bisa membuat hanya beberapa perajin saja,” kata Filemon.

Lebih lanjut Filemon menjelaskan, sebagai generasi keempat perajin batik Lasem ini dirinya memiliki tantangan yang harus dihadapi sekaligus menjadi solusi untuk tetap diterima pasar.

Salah satunya, dengan merambah pada segmen pasar digital untuk memasarkan produk batik Lasem buatannya.

“Digital itu perlu, dan pengembangan motif yang sesuai dengan kekinian tapi tanpa meninggalkan pakemnya. Ciri khas batik Lasem itu tidak boleh ditinggalkan, karena itu melestarikan budaya,” jelasnya.

Filemon menyebut, sejak merambah ke segmen pemasaran digital itu dirinya mendapatkan pembeli batik Lasem dari Singapura dan Malaysia.

Diakuinya, pembeli dari Singapura dan Malaysia itu rutin datang ke Lasem dan membeli produk buatannya.

“Harga kain batik Lasem paling murah itu Rp150 ribu dan itu full tulis. Yang paling mahal harganya Rp6,5 juta itu juga full tulis,” pungkasnya. (Bud)

Artikel sebelumnyaBegini Cara OJK Rumuskan Kebijakan Untuk Jaga Stabilitas IJK
Artikel selanjutnyaAkhirnya Beras dan Telur Ayam Tak Lagi Sumbang Inflasi di Jateng