Menyoal Putusan Sela Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat yang Menerima Eksepsi Hakim Agung Gazalba Saleh

Gazalba Saleh
Gazalba Saleh. (Photo/Istimewa)
Ikuti Kami di Google News

Semarang, Idola 92.6 FM – Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh kembali lolos dari jerat hukum yang dilakukan oleh KPK. Kali ini, eksepsi atau nota keberatan Gazalba Saleh dalam perkara dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dikabulkan. Gazalba Saleh didakwa telah menerima gratifikasi dan melakukan TPPU terkait penanganan perkara di MA sebesar Rp62,8 miliar.

Dalam putusan terbaru, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menilai, Jaksa KPK tak memiliki kewenangan menuntut Gazalba Saleh. Sebab, Direktur Penuntutan KPK tidak mendapatkan delegasi untuk menuntut Hakim Agung nonaktif itu dari Jaksa Agung RI.

Dalam pertimbangannya, Hakim menyebut bahwa surat perintah Jaksa Agung tentang penugasan jaksa untuk melaksanakan tugas di lingkungan KPK dalam jabatan Direktur Penuntutan tidak definitif. Dengan demikian, jika Jaksa KPK tidak memperoleh pendelegasian wewenang sebagai penuntut umum dari Jaksa Agung/ maka Jaksa KPK tidak bisa melakukan penuntutan terhadap Hakim Agung.

Putusan hakim pada PN Jakarta Pusat itu pun menuai reaksi dari kalangan pegiat antikorupsi. Meski menghormati putusan tersebut, mereka menilai, putusan sela Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat adalah putusan yang mengada-ngada dan ngawur. Karena kewenangan Jaksa KPK dalam melakukan penuntutan perkara di pengadilan bukan berasal dari Jaksa Agung. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK Pasal 6 huruf e dinyatakan: bahwa KPK itu bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan, penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Lalu, menyorot putusan Tipikor pada PN Jakarta Pusat yang meminta KPK membebaskan Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh, sebenarnya bagaimana aturan perundang-undangan mengatur hal ini? Bagaimana mendudukkan dua cara pandang yang berbeda antara hakim PN Jakarta Pusat dan KPK? Bukankah ini berarti proses penuntutan KPK yang telah dilakukan selama 20 tahun juga tidak sah, karena Direktur Penuntutan dan Jaksa KPK diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan KPK sebagaimana amanat Undang-Undang?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Diky Anandya (Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW)) dan Dr Azmi Syahputra (Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta & Sekjend Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki)). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: