Semarang, Idola 92.6 FM – Saat ini, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjadi sosok kepala daerah yang paling populer. Jumlah pengikutnya di media sosial mencapai 3,2 juta orang di Instagram dan 5,9 juta orang di Tiktok. Setiap harinya, konten-konten yang diproduksi mencapai ratusan ribu hingga jutaan viewers.
Panggung media sosial yang saat ini melekat dalam kehidupan masyarakat, akhirnya membuat Dedi Mulyadi semakin terkenal tidak hanya hanya di Jawa Barat tetapi juga menjadi sorotan nasional. Setiap hari, konten-konten yang diunggah menyedot ratusan ribu hingga jutaan penonton, memperlihatkan bahwa pengaruhnya telah jauh melampaui batas administratif Jawa Barat.
Dalam konteks ini, kita bisa menyimpulkan bahwa kampanye politik kini telah bergeser bukan lagi hanya soal baliho dan janji tetapi perihal kemampuan “mencuri” perhatian publik secara berkelanjutan. Praktik itu dilakukan Dedi Mulyadi bukan dengan sensasi tetapi dengan narasi kedekatan, tampil sebagai figur membumi.
Meski demikian, sejumlah kalangan menilai, kita jangan sampai terjebak dalam glorifikasi. “Ruang dialog sesaat” dan yang bersifat individual tidak akan cukup untuk membangun tata kelola pemerintahan yang inklusif dan melayani. Kenapa? Karena masyarakat tidak selalu bisa bertemu Dedi Mulyadi. Tidak semua warga punya kesempatan menyampaikan keluhannya secara langsung kepada beliau.
Maka, di sinilah urgensinya membangun sistem teknokrasi yang memperkuat kelembagaan, SDM birokrasi daerah, dan jajaran pemerintah daerah kabupaten/kota diperlukan untuk dapat membentuk “superteam”, bukan sekadar mendewakan “superman” atau “one man show.”
Lalu, “meminjam” gaya kepemimpinan Kang Dedi Mulyadi, bagaimana cara daerah dalam memperkuat sistem teknokrasi sehingga menjadi “super team,” tak sekadar bergantung pada “superman?”
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof Djohermansyah Djohan. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: