Semarang, Idola 92.6 FM – The biggest deficit that we have in our society and in the world right now is an empathy deficit. Kekurangan terbesar yang kita miliki dalam masyarakat dan di dunia saat ini adalah kurangnya empati, Demikian kata Barack Obama.
Mengapa pagi ini kita berbicara soal empati? Kami punya data seperti ini yang menjadi alasan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, satu dari tujuh anak umur 10 sampai 19 tahun mengalami gangguan jiwa. Depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku. Dan yang sangat miris adalah bunuh diri menjadi penyebab utama kematian ke-empat di dunia pada remaja usia 15 sampai 29 tahun.
Saya juga mendapat data dari Singapura yang dirilis oleh Duke-NUS Medical School dan Institute of Mental Health. Sebanyak 16,2 persen remaja di Singapura mengalami gejala depresi dan kecemasan. Hanya 15 persen di antara mereka yang mendapatkan penanganan dari ahli kesehatan.
Lalu bagaimana di Indoensia?
Data dari Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022 menyebutkan, 34,9 persen atau 15,5 juta remaja di Indoensia mengalami masalah mental. Dan 2,45 juta remaja atau 5,5 persen sudah menjurus kepada gangguan mental. Dari jumlah itu, hanya 2,6 persen yang mengakses layanan konseling baik emosi maupun perilaku.
Ini artinya, anak-anak kita, para remaja kini butuh dukungan. Salah satu dukungan yang mereka butuhkan saat ini adalah Empati dari kita. Empati dari lingkungan sekitar mereka tinggal.
Sebab, kesehatan mental atau mental health di kalangan remaja hingga saat ini masih menjadi sorotan. Para remaja memerlukan dukungan saat mereka menghadapi tekanan sosial, isolasi emosional, serta gejala depresi.
Kini, perhatian pada isu kesehatan mental terus dilakukan berbagai pihak. Bahkan melalui media film pendek dipakai untuk menyuarakan isu kesehatan mental agar mampu menggerakkan empati publik pada persoalan ini. Seperti yang dilakukan Lembaga #ForABetterWorld dengan menggelar kompetisi film pendek bertema kesehatan mental bagi para sineas muda. (Kompas.id, 25/06/2025)
Lalu, bagaimana upaya menggerakkan empati publik atas persoalan ini? Apa saja pendekatan yang bisa dilakukan dalam upaya mengantisipasi krisis kesehatan mental remaja baik di rumah maupun sekolah?
Untuk mengurai persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi bersama narasumber: T. Novi Poespita Candra, PhD (Pengamat Perkembangan Anak, Remaja, dan Pendidikan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) dan Linda Maysha (Psikolog Anak Dan Remaja).ย (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: