Semarang, Idola 92.6 FM – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dianggap kerap melontarkan wacana yang belum matang dan berakhir gaduh. Begitu menurut peneliti media sosial. Sementara, pengamat komunikasi menilai apa yang dilakukan Dedi Mulyadi sebagai “investasi politik.”

Kang Dedi dijuluki “gubernur konten” atas sejumlah kontroversinya termasuk soal pengiriman “anak-anak nakal” ke barak militer dan kewajiban vasektomi bagi pria berkeluarga yang ingin mendapat bantuan sosial. Inilah yang kemudian memicu perdebatan di media sosial.

Dilansir dari BBC News Indonesia (03/05), sejumlah kalangan menyebut, seringnya Kang Dedi tampil di publik dan media sosial merupakan “investasi politik” demi membangun langkah-langkah politiknya ke depan. Sementara, pendapat lain menganggap Kang Dedi yang kerap muncul di media sosial membentuk citra kepemimpinan “one-man show”

Terlepas dari berbagai kritik, Kang Dedi berdalih bahwa upayanya untuk hadir di media sosial bisa “menurunkan belanja rutin iklan” yang selama ini dikeluarkan oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Tapi, apa yang salah dengan gaya populisme seorang Kepala Daerah kalau rakyat menyukai dan merasa terlindungi? Mana yang lebih diperlukan; Kepala Daerah yang tampak serius tetapi tidak menyentuh kebutuhan riil rakyat? Atau Kang Dedy yang ramah dan membantu rakyat, meski dijadikan content di sosmed?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Dr Suko Widodo (Pengamat komunikasi politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dan Prof Firman Noor (Profesor Riset Bidang Politik BRIN). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: