Menyoroti Putusan MK yang Memperpanjang Masa Jabatan Pimpinan KPK

Anwar Usman dan Hakim MK lainnya
Photo/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Ghufron mengajukan gugatan terhadap Pasal 29 huruf e tentang minimal batas usia pimpinan KPK dan Pasal 34 yang mengatur mengenai masa jabatan.

Dalam amar putusan, MK mengubah ketentuan dua pasal dalam UU KPK hasil revisi tersebut. Dalam Pasal 29 huruf e, MK menambahkan kalimat ‘berpengalaman sebagai pimpinan KPK’ untuk mengakomodasi calon pimpinan KPK yang ingin maju namun belum berumur 50 tahun. Sementara dalam Pasal 34, Mahkamah Konstitusi mengubah masa jabatan pimpinan KPK, dari 4 tahun menjadi 5 tahun.

Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron. (Photo/Istimewa

Putusan MK tersebut menuai reaksi dari sejumlah kalangan. Mereka menilai terdapat inkonsistensi yang dilakukan MK dalam putusan perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebab, dalam putusan-putusan sebelumny, MK sempat menyatakan bahwa masa jabatan pimpinan lembaga negara, bukanlah wewenangnya untuk memutuskan.

Salah satu yang menyoroti tentang inkonsistensi itu adalah Anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Arsul membandingkan putusan MK dalam kasus pimpinan KPK dengan putusan MK dalam uji materi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2020 tentang MK. Gugatan itu dilayangkan untuk menggugat masa jabatan hakim konstitusi yang bisa mencapai 15 tahun. Menurut politikus PPP itu, saat itu MK menyatakan bahwa soal masa jabatan merupakan wewenang pembuat UU atau open legal policy.

Menyoroti dampak putusan MK mengenai perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK, lalu, bagaimana jalan keluarnya, kalau mengingat keputusan MK bersifat final? Sementara di lain pihak, keputusan MK, juga dinilai inkonsistensi?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Arsul Sani (Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP), Boyamin Saiman (Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI)), dan Bivitri Susanti (Ahli Hukum Tata Negara/Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: