ilustrasi/istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM-Di tengah masyarakat, saat ini muncul satu fenomena yang mungkin jarang dibicarakan tapi dampaknya luar biasa besar bagi masa depan bangsa. Fenomena itu yakni, fatherless atau kondisi ketika anak tumbuh tanpa kehadiran dan pengasuhan ayah.

Data terbaru dari Litbang Kompas cukup mengejutkan. Berdasarkan analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas terhadap data Mikro Susenas BPS Maret 2024 ditemukan bahwa 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah. Angka itu setara dengan 20,1 persen dari total 79,4 juta anak Indonesia di bawah usia 18 tahun. Artinya, satu dari lima anak di negeri ini tumbuh tanpa figur ayah di sisinya.

Kondisi ini bukan sekadar soal keutuhan keluarga. Para ahli menyebut, fatherless dapat berdampak luas—mulai dari tumbuhnya krisis kepercayaan diri anak, perilaku menyimpang, hingga rendahnya kemampuan membangun hubungan sosial dan emosional yang sehat. Padahal, Indonesia tengah menatap cita-cita besar: Indonesia Emas 2045.

Kita berharap lahir generasi yang kuat, mandiri, dan tangguh tetapi bagaimana mungkin cita-cita itu tercapai jika banyak anak kehilangan salah satu fondasi pengasuhan terpenting yakni: sosok ayah?

Nah, memahami persoalan ini, Apa sebenarnya yang dimaksud dengan fatherless? Sejauh mana dampaknya terhadap tumbuh kembang anak dan masa depan bangsa? Dan yang paling penting, bagaimana peran pemerintah, lembaga pendidikan, dan keluarga bisa berkolaborasi mengatasi fenomena “fatherless” ini?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Dr Faharuddin (Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi Kemendukbangga/ BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional)) dan Prof Alimatul Qibtiyah (Profesor Kajian Gender, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta/ komisioner Komnas Perempuan 2020-2024). (her/yes/dav)

Simak podcast diskusinya: