Memacu Kedaulatan Ekonomi Ditengah Tingginya Angka Kemiskinan

Semarang, Idola 92.6 FM – Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, adalah salah satu tujuan negara yang diamanatkan dalam UUD 1945. Namun, di usia kemerdekaan ke-71 Indonesia kesejahteraan masyarakat dinilai masih belum bisa merata dimana angka pengangguran terlihat masih banyak.

Bahkan, kesenjangan seolah terjadi kian menganga antara yang miskin dan yang berpunya. Secara umum belum tercipta makmur yang berkeadilan dan adil yang berkemakmuran. Pada ulang tahun kemerdekaan ke-71 tahun 2016, satu pertanyaan penting yang patut dikemukakan adalah apa yang sudah dicapai bangsa ini dari bidang ekonomi sebagai salah satu penopang kemakmuran bangsa.

Selanjutnya, tantangan apa saja yang patut diperhatikan di masa depan. Pada bidang perekonomian, kemajuan demi kemajuan telah dilalui, akan tetapi tantangan berat masih menanti. Agenda pokoknya, bagaimana perekonomian Indonesia mampu keluar dari jebakan eksternal, pola pertumbuhan rendah, serta risiko ketidakpastian global yang terus meningkat?

Ekonom di Universitas Katholik Indonesia Atmajaya, A Prasetyantoko menyatakan, presiden Joko Widodo mengusung nawacita yang berisi prinsip kemandirian bangsa, baik di bidang politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Kesembilan agenda kerja presiden tersebut sejatinya tak bisa dipisahkan karena merupakan satu kesatuan yang utuh.

Selain turunan programnya yang terkadang kabur, keutuhannya juga sering luput dari perhatian. Ada kaitan lugas antara kualitas manusia, produktivitas, serta kemandirian dan daya saing bangsa. Ketiganya saling menopang satu sama lain. Dan ketika diupayakan menjadi simultan, dipastikan akan mengungkit kemajuan bangsa secara signifikan.

Lantas, di usia 71 tahun kemerdekaan RI, sudah berdaulatkah ekonomi Indonesia? Sudahkah mampu mewujudkan adil yang berkemakmuran dan makmur yang berkeadilan?

Anton J. Supit
Anton J. Supit

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Anton J. Supit menyatakan, bila membicarakan kedaulatan ekonomi bangsa, perlu melihat secara menyeluruh permasalaan bangsa ini. Berdasarkan data BPS, saat ini masih ada 28 juta orang yang berasa di bawah garis kemiskinan. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin masih besar.

“Batas antara yang miskin dan kaya itu kan besar, kemudian kue nasional yang dinikmati rakyat tidak seimbang. Kalau bicara segi pengangguran, yang sangat disayangkan adalah kita selalu memakai data absolute miskin, rentan miskin dan lainya. Sebenarnya itu terkesan hanya menyamarkan data jumlah miskin,” tandasnya dalam Panggung Civil Society Radio Idola di Semarang, Jumat (19/8).

Menurut Anton, pengangguran terbuka itu hanya sekitar 7 jutaan akan tetapi BPS juga mengeluarkan data yang sama, yakni setengah menganggur dan setengah bekerja ada 35 juta orang. Artinya yang membutuhkan pekerjaan ada sekitar 40 jutaan.

Ia menyebut, (masih berdasarkan data BPS) sejak 2011 kita mengalami penurunan di bidang manufacturing, dan tahun ini yang terburuk. Dia mempertanyakan kebijakan pemerintah yang seolah berpihak pada rakyat namun tidak diperhitungkan dampaknya seperti rencana pembentukan badan Usaha Milik Desa atau BUMDes. Anton mengkritik ini seperti ekonomi komando yang ditandai semua seolah hendak diatur semua oleh pemerintah.

“Saya sependapat desa diperdayakan. Tapi apakah pembentukan BUMDes ini sesuatu yang tepat dengan 72 ribu desa itu. Dan untuk mengurus usaha itu kan tidak gampang. Saya kira ini jadi PR, Pemerintah harus membuat ‘rate’ dimana kesalahannya,” terusnya.

Menurut Anton, yang menghambat Indonesia belum mampu berdaulat dibidang ekonomi yakni korupsi dan Inkompetensi jajaran pejabat Negara. Kepada pemerintah, dia meminta pemerintah tidak mengatasi satu masalah namun itu membuat masalah yang lain.

“Karena itu mulai dari yang paling atas, mulai dari menteri sampai dinas di daerah bebas dari dua hambatan tersebut. Kompetensi yang tinggi dan bebas korupsi. Jadi kalau dua itu tidak dilaksanakan akan susah,” tambahnya.

Enny Sri Hartati.
Enny Sri Hartati.

Lebih lanjut, Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for development of Economics and finance (INDEF) menilai, merdeka bagi sebagian besar rakyat kita maknanya tidak muluk-muluk. Yang penting masyarakat tercukupi dalam pangan, sandang, dan papan. Selain itu juga mudah ketika mencari pekerjaan.

“Kalau kita lihat dari yang dirilis BPS, 28 juta orang dibawah kemiskinan itu ketika bangun mereka (warga miskin, red) masih berpikir apa yang harus dimakan. Nah ini yang masih menjadi persoalan,” ujarnya.

Menurutnya, sebagian rakyat Indonesia memang sejahtera, namun kesejahteraan itu belum menyeluruh seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kesejahteraan hanya dinikmati sebagian saja. Masalah dasarnya masih pada kesenjangan dan ketimpangan. Dia mengungkapkan, masih terjadi ketimpangan antara yang miskin dan yang kaya dan kesenjangan pembangunan antara yang di Jawa dan luar Jawa.

Eny menyebut, pemerintah memang telah berkomitmen membangun dari pinggiran sebagai upaya pemerataan pembangunan, namun saat ini belum tampak hasilnya. Merujuk pada data BPS, kemiskinan secara umum memang menurun namun kemiskinan di pedesaan stagnan dibanding perkotaan.

“Sebelumnya Presiden Jokowi sudah terusik dengan pembangunan yang di Pulau Jawa saja, tidak boleh Jawa saja yang dibangun. Ini sudah kesadaran yang perlu diapresiasi. Jadi problemnya bagaimana pemerataan. Pemerataan sendiri tidak harus sama rata dan sama rasa,” imbuhnya.

Ke depan, menurut Enny untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperlukan keseriusan dan implementasi yang konkret. Selain itu, juga perlu koordinasi dan sinergitas antar semua lini baik pemerintah maupun swasta.

“Nah kalau itu dilakukan maka akan efektif dan pemerintah akan kredibel. Presiden Jokowi itu kemarin mengungkapkan APBN tidak terus menerus ukurannya naik tapi ndak pernah kredibel, targetnya selalu meleset. DPR pun tidak memberi punishment ketika target itu meleset,” ungkapnya.

Pada usia kemerdekaan ke-71 Republik Indonesia, kesejahteraan masyarakat dinilai masih belum bisa merata. Bahkan, kesenjangan seolah terjadi kian menganga antara yang miskin dan yang berpunya.

Secara umum belum tercipta makmur yang berkeadilan dan adil yang berkemakmuran. Untuk itu, diperlukan sinergi semua pihak dan kalangan baik pemerintah maupun swasta.

Selain itu, dan selain fokus pada pembangunan infrastruktur fisik, pemerintah juga perlu memerhatikan pembangunan infrastruktur sosial meliputi kesehatan masyarakat dan pendidikan dasar. Ditengah ketidakpastian global ini, pemerintah tak boleh lengah dari fokus penting tersebut. (Heri CS/Diaz A)