Menakar Plus-Minus Moratorium Perguruan Tinggi Akademik

Semarang, Idola 92.6 FM – Upaya meningkatkan daya saing bangsa serta menyongsong bonus demografi pada tahun 2020-2030, pemerintah mulai berbenah dan melakukan berbagai upaya. Salah satunya, mulai tahun 2017, pendirian perguruan tinggi akademik dimoratorium karena jumlahnya dianggap sudah memadai. Sebaliknya, pendirian perguruan tinggi vokasi terus didorong untuk mendukung ketersediaan tenaga kerja untuk industry. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M. Nasir mengatakan, perguruan tinggi akademik sudah banyak. Indonesia justru harus menambah perguruan tinggi vokasi serta bidang sains, teknik, teknologi, dan matematika. Pembukaan perguruan tinggi akademik hanya daerah terdepan, terluar, dan tertinggal, serta daerah dengan kebutuhan khusus.

Sementara itu, Patdono Suwignjo, Direktur Kelembagaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kemenristek dan Dikti, mengatakan, penyelenggaraan perguruan tinggi vokasi memang lebih mahal ketimbang perguruan tinggi akademik. Perangkat workshop bisa berharga miliaran rupiah. Belum lagi praktik 60 hingga 70 persen berikut sertifikasinya. Menurut Patdono, pembukaan politeknik baru masih mengandalkan pemerintah, terutama untuk empat bidang prioritas yakni maritim, pertanian, pariwisata, dan industri kreatif. Selain Kemristek dan Dikti, Kementerian lain seperti Kementerian Perhubungan, Pariwisata, Perindustrian, ataupun Kementerian Kelautan dan Perikanan akan membuka politeknik baru. Pemerintah daerah juga didorong membuka akademi komunitas.

Lantas, apa plus-minus kebijakan moratorium perguruan tinggi akademik bagi upaya mendukung ketersediaan tenaga kerja untuk industri? Cukup strategis kah ini sebagai upaya untuk meningkatkan pendidikan vokasi untuk menyongsong bonus demografi?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi bersama beberapa narasumber, yakni: Dadang Rusdiana (anggota Komisi 10 DPR RI dari Fraksi Hanura), Prof Yohanes Budi Widianarko (rektor Unika Soegijapranata Semarang), dan Ali Ghufron Mukti (Dirjen Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kemenristek dan Dikti). (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: