Topic Of The Day: Membaca Potret Pemberantasan Korupsi

Semarang, Idola 92.6 FM – Di tengah upaya segenap elemen memerangi kejahatan korupsi yang seolah menggurita, kabar buruk datang jelang usia kemerdekaan ke-71 Republik Indonesia pada bulan ini. Alih-alih ada terobosan baru untuk membuat efek jera para koruptor, pemerintah justru memperlihatkan upaya regulasi yang paradoks.

Sebagai kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime), pelaku tindak pidana korupsi, narkoba, dan terorisme seharusnya dihukum berat. Nah, di negeri ini, mereka justru mendapatkan kemudahan remisi. Kementerian Hukum dan HAM merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Salah satu poin krusial yang direvisi seputar pemberian remisi. Dalam revisi itu, terpidana kasus korupsi, narkoba, dan terorisme bisa kembali mendapatkan remisi tanpa menjadi Justice Collaborator (JC).

Remisi Koruptor Makin Mudah

Dalam draf rancangan PP yang baru, pemerintah mengapuskan butir yang mengatur syarat bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar perkara. Syarat itu sebelumnya berlaku bagi narapidana kasus terorisme, narkoba, korupsi, dan pelanggaran berat HAM untuk mendapatkan remisi.

2016-08-11-1a

Dirjen Pemasyarakatan I Wayan Dusak mengungkapkan, PP yang baru itu tidak berniat menguntungkan koruptor. Penghapusan Justice Collaborator didasarkan pada banyak pertimbangan. Menurut Dusak, secara filosofi, Justice Collaborator seharusnya diberikan oleh hakim. Namun seringnya diberikan oleh penegak hokum. Bahkan, setelah perkara yang bersangkutan diputus. Jadi, kewenangan penuh menentukan status terdakwa sudah berkelakuan baik atau tidak ada pada Ditjen Pemasyarakatan. Revisi PP Nomor 99 tahun 2012 juga bertujuan mengurangi underkapasitas atau kekurangan kapasitas yang menjadi problem di mayoritas penjara di Indonesia. Dusak berharap, revisi PP tersebut tidak hanya dilihat dari sisi pidana korupsi, tapi juga perkara narkoba. Banyak pengguna narkoba yang tidak mendapatkan remisi karena PP tersebut. Padahal, mereka seharusnya tidak berada di penjara dan harus mendapatkan rehabilitasi.

Keberadaan PP Nomor 99 tahun 2012 dinilai tidak mengefektifkan pidana denda dan subside. Banyak terpidana yang memilih tidak membayar denda karena tak mendapatkan remisi. Bagi terpidana korupsi, dalam revisi PP Nomor 99 sebenarnya masih ada pemberatan pemidanaan. Mereka tidak serta merta mendapatkan remisi karena harus menjalani 1/3 masa pemindaan terlebih dahulu. Jadi, jika divonis 10 tahun penjara, terpidana baru mendapatkan remisi ketika sudah dihukum 3,5 tahun. Itu lebih berat daripada pelaku pidana biasa yang langsung bisa mendapat remisi.

Alasan yang disampaikan Dusak tersebut tak bisa diterima sejumlah aktivis antikorupsi. Salah satunya Lalola Easter Kaban, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW). Easter menilai, revisi itu merupakan bentuk kemunduran penjeraan koruptor. Dahulu dengan Justice Colaborator, koruptor dipaksa untuk membongkar perkaranya. Kini tanpa melakukan itu mereka bisa mendapatkan remisi. Ini sangat menguntungkan koruptor. Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tidak sepakat dengan langkah Kementerian Hukum dan HAM untuk merevisi PP tersebut. Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, tindakan Kemenkumham merevisi PP itu akan berdampak pada lemahnya efek jera terhadap pelaku kejahatan luar biasa, khususnya pelaku korupsi. Menurutnya, revisi PP itu akan memudahkan koruptor untuk mengajukan remisi. Oleh karena itu, KPK berharap Kemenkumham membatalkan rencana tersebut.

Nah, 71 Tahun Indonesia Merdeka, Membaca Potret Pemberantasan Korupsi, kami mengajak Anda untuk urun rembug, berbagi pandangan dan bertukar pemikiran. Bagaimana potret pemberantasan korupsi saat ini? Semakin baik atau justru semakin surut? Lantas, sependapatkah Anda dengan rencana pemerintah untuk revisi PP Nomor 99 tahun 2012 yang mempermudah remisi koruptor?

Inkonsistensi Pemberantasan Korupsi

2016-08-11-1b

Prof Dr Hibnu Nugroho, Pakar Hukum Pidana Unsoed Purwokerto menilai/revisi PP Nomor 99 tahun 2012 ini mengingkari semangat pemberantasan korupsi. Korupsi masuk dalam kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime). “Revisi ini wujud inkonsistensi bahwa korupsi masuk kejahatan luar biasa. Ke depan, karena korupsi seperti kejahatan biasa, bisa marak lagi. Ini seperti lagu poco-poco, maju mundur langkahnya, ”ujar Prof Hibnu dalam diskusi Panggung Civil Society Kamis (11/8) pagi.

Mengenai alasan pemerintah karena sudah terbatasnya kapasitas lapas, menurut Prof Hibnu, hal itu tidak relevan. Mengingat persoalan daya tampung lapas, menjadi bagian dalam manajemen pengelolaan, bukan ranah pidana. “Kita harus mulai berpikir untuk menerapkan lapas terbuka. Narapidana melakukan kerja social,” tutur Prof Hibnu.

Dalam upaya penegakan korupsi, secara umum memasuki usia bangsa yang ke-71 tahun bulan ini, Prof Hibnu menilai, penegakan korupsi memang bagus di wacana dan semangatnya. Namun, lemah di implementasinya. (Heri CS)